Skip to main content

Pancasila, Nasionalisme, dan Eyangkung

Mungkin Eyangkung (Eyang Kakung, Kakek dalam bahasa Jawa) benci disebut-sebut sebagai pahlawan. Tapi, memang kenyataannya begitu. Tidak akan ada Indonesia tanpa Eyangkung dan para pahlawan yang lain. Eyangkung saya bernama Eyang Toegijo Kartosandjojo, beliau lahir di Solo pada 17 Agustus 1919. Eyangkung bersekolah di Neutrale H. I. S Solo dan beliau berprestasi di sekolahnya. Karena prestasi itulah beliau dibebaskan dari les persiapab masuk M. U. L. O. dan pada akhirnya beliau berhasil masuk tanpa melalui tes ujian masuk.

Sebagai cucu kesekian, saya sangat bangga mempunyai sosok Eyangkung. Karena beliau, saya selalu bersumpah akan membawa nama baik keluarga. Saya nggak mau menjelekkan nama baik keluarga besar, saya nggak mau dibilang, "cucu pahlawan kok seperti itu?" (Walaupun saya ini memang tergolong bandel sih, cuma bandelnya masih sebatas wajar). Walaupun beliau wafat setahun sebelum saya lahir, banyak cerita yang sudah saya dengar maupun foto-foto beliau yang saya lihat. 

Dari yang saya baca, beliau fasih berbahasa Jawa dan Sunda, serta aktif dalam berbahasa Belanda, bahasa Inggris, dan Bahasa Jerman. Sementara Bahasa Prancis dikuasai beliau secara pasif. Beliau belajar bahasa hanya dengan cara mendisiplinkan diri untuk membaca literatur asing dan mendengarkan siaran radio berbahasa asing. Inilah yang membuat saya ingin menjadi poliglot seperti beliau, saya selalu mencoba cara beliau (pada akhirnya gagal, sih, kurang disiplin) karena itulah saya senang mempelajari bahasa asing. Saya ingin menjadi sosok yang pintar, rendah hati, dan dihormati seperti beliau.

Eyangkung adalah angkatan pertama dan salah satu pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) bersama beberapa tokoh pahlawan lainnya yang kita kenal dari nama-nama bandara di Indonesia. Adisoetjipto, Abdoelrahman Saleh, Hoesein Sastranegara adalah beberapa di antaranya.


Beliau melakukan perang gerilya di sekitar Jogja pada saat agresi militer Belanda I. Pada 29 Juli 1947, tiga pesawat melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang. Pengeboman tersebut di luar dugaan Belanda dan mereka pun membalas menyerang Indonesia dengan mengebom lapangan-lapangan tembak yang dikuasai RI.

Beliau menikah dengan Eyangti saya pada 4 Juli 1948. Namun, pada 19 Desember 1948 ketika Belanda kembali melakukan agresi militer, Eyangkung bergerilya di Jogja, meninggalkan Eyangti yang saat itu sedang hamil 3 bulan. Pada saat usia kandungan Eyangti 7 bulan, Eyangkung kembali ke rumah sakit dengan kulit yang sangat hitam terbakar matahari dan menuntun Noegroho Notosoesanto (alm.) yang berlumuran darah.


Eyangkung sempat dikatakan sebagai pahlawan gugur dan namanya tertera di Monumen Yogya kembali, sebelum akhirnya masyarakat tahu jika Eyangkung sebenarnya masih hidup.


Masih banyak sejarah Eyangkung yang berhubungan dengan NKRI-ku ini.
Eyangkung wafat di Jakarta pada 09 September 1996 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Dari foto-foto yang saya lihat, semua proses upacara dan rangkaian pemakaman pahlawan dilakukan di halaman rumah Bendungan Hilir ini. Dari cerita yang saya dengar dari Eyangti, Mama, serta para Oom dan Tante, saat itu banyak sekali orang dari penjuru Indonesia yang tidak dikenal datang untuk melayat. Ada yang bilang jika Eyangkung pernah membantunya, ada supir bajaj bilang jika Eyangkung adalah teman bermain caturnya, dan lain sebagainya. Beribu kali mendengar cerita ini, saya selalu terharu.

Mungkin karena didikan Eyangkung yang sangat disiplin, anak cucunya hingga sekarang pun seperti itu. Semua ada jadwalnya. Jika dipikir, ya, memang keluarga kami memang terdiri dari orang-orang pintar, yang bahkan saya sendiri selalu merasa minder dengan diri sendiri. Saya bingung bagaimana Eyangkung, Eyangti, Mama, para Oom, dan para Tante bisa sangat pintar.

(Btw, secara keseluruhan, saya juga baru menyadari jika keluarga kami memang mempunyai gen tubuh yang tinggi. Eyangkung mempunyai tinggi sekitar 180-an cm lebih, dan anak cucunya juga tingginya minimal sekitar 158 cm ke atas. Keluarga raksasa, yang isinya juga sangat banyak)


Dulu sebelum saya bersekolah, saya pernah mengeluh tentang betapa membosankan makan siang yang disajikan. Eyangti (Eyang Putri, Nenek dalam bahasa Jawa) langsung berucap, "bersyukur. Kamu nggak tahu bagaimana rasanya makan di zaman perang. Dulu, kita setiap hari cuma makan nasi dan garam." Sejak ditegur seperti itu, saya selalu membayangkan bagaimana keadaan pada zaman dulu. Selain faktor dosa, faktor perang adalah alasan saya tidak pernah membuang-buang makanan atau menyisakannya di piring. Itu yang membuat saya benci melihat orang yang hanya lapar dan pada akhirnya membuang makanan sisanya.

Memang tidak bisa dipungkiri, saya jelek di dalam pelajaran sejarah dan PKn. Hafalan saya buruk. Nilai tidak pernah menyentuh angka 9, maksimal hanya 8. Bahkan, dulu nilai PKn saya sempat menyentuh angka 4. Tetapi bukan karena saya payah di dua pelajaran tersebut saya menjadi benci dengan keduanya. Ketika membaca buku sejarah dan buku PKn yang penuh gambar, saya selalu berimajinasi membayangkan situasi pada saat itu. Bagaimana W. R. Soepratman memainkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya hanya di dalam lantunan biola, bagaimana gelapnya malam saat perang gerilya, bagaimana debu dari bangunan yang roboh, bagaimana bau amisnya lingkungan karena banyak korban mati yang berlumuran darah, bagaimana was-wasnya pada saat itu, dan bagaimana-bagaimana lainnya.
Karena alasan personal ini, setiap tanggal merah yang berhubungan dengan NKRI, saya selalu mempunyai cara tersendiri untuk menyebut diri saya nasionalis. Jujur, sejak SD memang hanya kadang-kadang saya datang ke upacara peringatan (selain karena saya tidak kuat ikut upacara, iya memang cupu banget dibandingkan sama Eyangkung), namun biasanya setiap ada peringatan khusus keluarga akan menyempatkan diri untuk berziarah ke TMP Kalibata.

Saya rasa, bentuk nasionalisme bisa dibentuk dari berbagai macam hal sederhana. Ya, contohnya... nggak membuang atau menyisakan makanan. Kebayang kan sesusah apa dulu saat zaman perang? Ya, contohnua lagi... pelajarin sejarah dan PKn, hafal lagu-lagu nasional, pakai baju yang sesuai adat Timur kita. OH, SATU LAGI! Bertutur kata yang sopan. Nggak berbicara dengan nama-nama hewan ataupun omongan kasar lainnya. Terdengar sepele memang, tapi bahasa gaul yang berbumbu kotor dan jorok tidak ada apa-apanya dibanding bahasa Indonesia yang anggun jika digunakan secara benar.

Mengapa saya menulis tentang beliau?

Karena beliau adalah panutan saya untuk selalu bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang.

Yuk, sebagai pemuda Pancasila, jangan lupakan darimana akar kita berasal. Coba diingat kembali sejarah Indonesia sehingga tercipta butir-butir Pancasila. Saya yakin, kalau kita semua sudah bersyukur dengan keadaan kita sekarang, kita sudah menjalankan hidup sebagai pemuda Pancasila.

Mungkin RI masih belum bisa melaksanakan Pancasila, jika kalian melihat dari kontranya. Tetapi, bukankah lebih penting untuk Pancasila-in hati nurani sendiri dulu?

#SayaPancasila #SayaIndonesia

Comments

Popular posts from this blog

Intermezzo: Naif atau Bodoh?

Andai dunia itu nggak sesulit yang kita rasakan, ya. Dunia itu nggak baik bukan karena 'dunia' itu sendiri kan? Tapi karena manusianya. Dunia menjadi kejam karena ulah mereka yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang yang mengenal saya mengatakan jika ada batas tipis antara naif dan bodoh di dalam diri saya. Terlalu lugu untuk melihat ini semua, tetapi sebenarnya bodoh karena tidak mengerti apa-apa. Saya bersyukur, karena saya dikelilingi oleh orang-orang yang melindungi saya agar tetap menjadi diri saya yang sekarang. Maksudnya, seperti bunga lotus yang tidak akan pernah kotor walaupun hidup di kolam berlumpur. Mereka, teman-teman saya, tetap menjaga saya seperti itu. Namun, ada kalanya saya harus sendiri. Pertemanan itu nggak harus selalu bersama-sama, cukup sirat hati yang menyatukan ikatan pertemanan. Nah, ketika saya sendiri itu lah saya merasa... bodoh. Maksudnya, saya sering melakukan kecerobohan. Mungkin, apa karena saya terlalu dilindungi mereka? "Dia itu adala...

Dear Momma (2.0)

And eventually I'm just a scared little lady. The super sensitive one when people talked about "family bond." I would cry easily on my Momma's lap when we had a deep conversation. She's my hero, my wonderwoman. The one who rescued me in my lowest. The one who protected me whenever I needed her. So, two days ago we had a deep conversation. It was about manner. " Kamu mbok ya jangan ngomong sama Mama kaya gitu.. nanti dosa ," she said when we got started. I was standing beside her while she sat on the sofa. We were talking about the latest movie actually -not the deep conversation, yet-. "Kalo ngomong sama orang tua, apalagi sama Mama, jangan sampe Mama harus mengadah liat kamu... Tatapan mata kita sejajar aja udah salah... " I was like.. . krik. Speechless. " Justru dari dulu k epala Mama lebih rendah daripada kepala Eyangti, lho. Nanti kualat kamu kaya gitu, De... Mama dari dulu mau ingetin kamu tapi lupa terus. Tiap abis shalat, ...

Mom

Entah ini yang ke berapa kalinya gue nulis tentang sosok idaman gue. Sosok yang selalu ada untuk gue, disaat terpuruk ataupun disaat senang.Sosok yang menjadi contoh. Sosok yang gue llihat seperti Julie Andrews dan Audrey Hepburn. She is.. Mama. Mama itu stylist, tapi stylist orang jadul yang nggak out of trend deh. Gayanya kaya Audrey, sama Julie. Anggun. Sifatnya... tegas, dan disiplin. Beliau benci sama orang-orang yang nggak punya sopan santun, berapa pun usianya. Mama dan gue seriiiiiiiing banget berantem. Durhaka banget ya, gue jadi anaknya. Tapi ada saatnya ketika kita jadi sahabat, yang selalu kompak. Kalau menurut beliau sikap gue lagi nyebelin, beliau pasti ngomong, " De, inget kamu dulu ngomong apa ke Mama? Kamu dulu pernah ngomong, 'Ma, jangan tinggalin Ade ya... Kita harus kompak, sama-sama terus. " Kalau udah kaya gitu biasanya gue nangis dan langsung meluk dia. Gue ga inget umur berapa gue ngomong gitu, tapi kata beliau dari sebelum SD gue ngom...

A Little Post of Feeling Blessed

Hi, I'm officially a college student now. HURRAY. I'm so busy these days. Also, my sister, Mba Andes just gave birth to a beautiful beautiful beautiful baby, Deandra Eiliya Isuhirman, I have niece again! The more I breathe, the more I look around, the more I realize that I'm so blessed. The more I keep my mind wide open, the more I know that I'm surrounded by beloved people. I'm feeling that I've grown up, I can be anything that I wanna be. I feel so relieved, happy, and cheerful. I'm becoming a whole new Nita, a whole new better person than I used to be. I'm so blessed.

Dear You, 2020

Halo, apa kabar? Mengapa kamu menjauh?  Saya salah apa? Apakah saya membuatmu risih? Apakah kamu membenci saya? Kamu terasa sangat jauh sekarang, tanpa aku bisa raih. Kita memang tidak saling menggenggam, namun aku tahu kita saling merasa. Ingin sekali saya bertanya berbagai hal kepadamu, termasuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Saya harap kamu baik-baik saja, hidup dengan bahagia. Apakah mungkin, kamu seperti itu karena merasa kehilangan diri saya? Apakah mungkin, kamu sebenarnya memahami diri saya yang sesungguhnya, namun merasa saya mulai berubah? Apakah mungkin, kamu merasa asing dengan diri saya yang sekarang? Jika memang demikian, saya mulai menyadari sudah betapa jauhnya saya tersesat. Saya pun merasa asing dengan diri sendiri. Rasanya saya sudah melangkah jauh, dan saya takut sudah terlalu terlambat untuk kembali. Kamu menyadari perubahan saya sejak lama, dan kamu merasa asing dengan diri saya. Saya ingin meminta maaf, jika diizinkan. Saya ingin kembali berada di hidup kamu, ji...