Skip to main content

The Stigma that Created by Us

Humans were born with a lot of different talents, skills, and capabilities from the Lord. It is called as gifts that made everyone unique. As we grow up, it is matters whether we use those gifts or not. Some people love drawing when they were a child but choose on music when they are mature. But some people don’t. Some people love to challenge their self, and some people choose to stay still. In fact, what we are now is created by the talents, skills, and capabilities that we sharpen throughout our life.


Mostly, a person that was born in the middle of a strict family will become a strict person too. In fact, he / she will become as hard as a stone and willing to do anything to get his / her aims, though he / she needs to climb the 200 m tree (okay, this is so hyperbola). And it is different from being spoiled, though. That person needs logical reasons to make him / her stop to accomplish the aims. If that person thinks that it can be done, well… it is.

We live in a world where stigma was created among the people. A person will be called as the smart one if he / she gets A in every subjects, a girl will be called as beautiful if she has white fair skin and slim body, a boy will be called as music genius when he could play classical songs, a person will be called as stupid when he / she gets F, etc. As if people makes no room for a MISTAKE, even for a slight one. People seek for PERFECTION in the other people. But the truth is, nobody is perfect. Yes, we are the perfect creature among the other creatures that created by the Lord, but it does not mean that we are perfect if it is compared to another people, aren’t we?

Apakah karena masyarakat selalu melihat kesempurnaan seseorang dan akan selalu mencecar kesalahan mereka adalah salah satu penyebab terciptanya seorang perfeksionis?

Well, maybe it could be.


Then, there are perfectionists. Perfectionist DOES look for a PERFECTION, but it is for their own pleasure. It is a disorder that made your brain did 100 times better than anyone else. If a perfectionist failed to do so, it is really stressful for them. A perfectionist is actually just a fragile and vulnerable person. A perfectionist is a coward who afraid of the other people opinion about them, because he / she is not strong enough to hear people barking their mistakes. It makes their world crumble apart.

Menurut saya, sebenarnya stigma ‘sempurna’ dari masyarakat terhadap para perfeksionis memang diciptakan para perfeksionis itu sendiri.

Being a perfectionist is like riding on a roller coaster. Sometimes it could make you fly high, or it could make you have a heart attack. Being a perfectionist makes you learn that you could not just pleased everyone (you have to control your ego, seriously!) and sometimes (mostly) it is hard for perfectionist to accept. Being a perfectionist makes you overcome the struggle of working in team because not anyone is agree with your opinions -though you think the opinions are magnificent-.
But there is the self anxious of the perfectionist, when they know that they are not THAT perfect but everyone is EXPECTING MORE from them. At the end, a perfectionist knows that they are only a human in the tiny universe. They want to scream, “I AM NOT PERFECT SO PLEASE STOP EXPECTING TOO MUCH! I COULD MAKE YOU DISAPPOINT AT ME AND I DO NOT WANT THAT TO HAPPEN!”

And sometimes, they whisper…
“Could you please stop talking about my grades? I am not a robot that could have all As, I could have one A- to couldn’t I?”

Being a perfectionist… is exhausting.

Yes, I stigma myself as a perfectionist.

I know that a perfectionist is an annoying disorder, but I do not want to change. This is me, and I could survive until now. I love for being born this way.

Love,
A perfectionist that scream, “I am not perfect so stop expecting too much.”

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Kuliah (Kami): 4

4 When the skies are blue, to see you once again... my love Anya's side Sudah dua bulan aku berkuliah. Masih terasa menyenangkan, semua terasa indah, apalagi karena ada Skan setiap hari (kami berada di kelas yang sama hampir di setiap mata kuliah, yay !!!). Duh, jangan bicarakan Skan lagi, deh! Aku pusing hampir setiap detik aku memikirkannya! Nggak bisa, ya, kalau dia pergi sejenak saja dari pikiranku? Duh, susah ya, tidak memikirkan orang yang berada di kelas yang sama hampir setiap harinya? Karena telah menjadi teman sekelas, kami memang lebih banyak berbincang, berdiskusi, berbincang, berdiskusi... yah, sebatas itu saja. Monoton memang. Akupun merasa bersyukur masih bisa bernapas di hadapannya. Omong-omong, aku baru menyadari jika Skan itu sangat pintar. Jenius malah. Entah mengapa aku merasa iri dengan kepintaran Skan. Dibandingkan aku? Cuih, aku hanya buih di lautan. Dia sebagai lautannya, tentu. Kami sering bertukar opini tentang kasus yang diberikan d...

Dear You, 2020

Halo, apa kabar? Mengapa kamu menjauh?  Saya salah apa? Apakah saya membuatmu risih? Apakah kamu membenci saya? Kamu terasa sangat jauh sekarang, tanpa aku bisa raih. Kita memang tidak saling menggenggam, namun aku tahu kita saling merasa. Ingin sekali saya bertanya berbagai hal kepadamu, termasuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Saya harap kamu baik-baik saja, hidup dengan bahagia. Apakah mungkin, kamu seperti itu karena merasa kehilangan diri saya? Apakah mungkin, kamu sebenarnya memahami diri saya yang sesungguhnya, namun merasa saya mulai berubah? Apakah mungkin, kamu merasa asing dengan diri saya yang sekarang? Jika memang demikian, saya mulai menyadari sudah betapa jauhnya saya tersesat. Saya pun merasa asing dengan diri sendiri. Rasanya saya sudah melangkah jauh, dan saya takut sudah terlalu terlambat untuk kembali. Kamu menyadari perubahan saya sejak lama, dan kamu merasa asing dengan diri saya. Saya ingin meminta maaf, jika diizinkan. Saya ingin kembali berada di hidup kamu, ji...

Sarkas

Mungkin memang saya yang terlalu baik, saya yang bodoh, saya yang terlalu naif, dan saya yang selalu berpikir optimis. Semua ucapan orang yang memperingatkan agar selalu hati-hati... Saya abaikan. Saya mau tidak mau menerima semua resiko walaupun kini saya tahu rasanya. Dunia itu kejam dan saya seharusnya tahu. Saya seharusnya mendengar setiap rambu yang ditujukan kepada saya. Rasanya? Marah. Sedih. Merasa bodoh. Semua menjadi satu. Saya kini tahu seperti apa diri anda yang sesungguhnya. Anda.... bukan hanya seorang, tapi kumpulan orang yang sejenis. Hah, ternyata, wajah kalian pun bukan hanya dua. Namun terbagi menjadi seratus. Kalian dengan eloknya berganti wajah pada setiap orang. Ternyata, mulut manis kalian tidak semanis yang selama ini saya dengar. Mulut kalian memang manis di depan saya, tapi pahit di belakang saya. Ternyata, kalian bahkan kejam antar sesama kalian. Sangat tidak manusiawi. Lalu, Apakah saya masih pantas menyebut kalian manusia? Kalian senang menyerang ora...

2014. New Things. Angel.

Hellaaaauuuuuu fellas! Finally, bisa inget password blog iniiii! Sedih deh rasanya gara-gara lupa password hal-hal yang pengen gue curhatin jadi tertunda gitu. Padahal... OMG. Udah ketinggalan jauh banget. So. Kudet. Mungkin percakapan kita dimulai dengan kehadiran seorang malaikat kecil yaa.. Allah telah memberikan malaikat kecilnya di antara keluarga gue. Malaikat yang sangat cantik, lucu, pintar, dan benar-benar disayangi semua orang. How could we hate an angel? Namanya adalah... Alexandria Keirra Averdi. Panggilannya adalah Rara. She's actually my niece who was born in Juily 15th 2013. Rara is the most beautiful creature on this planet. Gue yakin Rara akan tumbuh jadi cewek yang sangat cantik lahir dan batin nantinya. Sekarang Rara sudah berusia 9 bulan dan.... banyak banget sikapnya yang menggemaskan. Dia udah bisa dadah-dadah, menggumam nggak jelas gitu, terus seneeeeeng banget ketawa. OMG Rara itu adalah bayi yang paling lucu yang pernah ...

Catatan Kuliah (Kami): 2

2. When life is full of chemistry Skan's Side Hari itu, aku meminta Piyo mencarikan wanita untukku. Dia yang duduk di sebelah kananku hanya mengangguk-angguk sekilas, seakan-akan berucap, " Bro , kalau ada wanita cantik... pasti sudah gue ambil duluan, lah!" Yup, men. Namun tiba-tiba, Piyo mengguncangkan bahuku seraya menunjuk seseorang yang berdiri di depan kelas. Wanita. Tinggi. Berkacamata. Rambut diikat asal. Pakai kemeja putih. Pakai celana jins biru muda. Pakai sepatu boots . "Tipe lo," ucap Piyo singkat. "Gue nggak pernah lihat dia," kataku bertanya-tanya. "Berarti dia jarang ikut acara di kampus juga, Skan. Sama kaya kita. Datang kalau cuma ada yang penting," jawab Piyo acuh tak acuh. Dia memang sama sepertiku. Jarang datang, tinggi, keren, incaran wanita pokoknya. Aku memerhatikannya dengan seksama. Entahlah... dia memang lumayan. Sekilas dia memang memiliki perawakan yang sama denganku. Sedang apa...