Skip to main content

Catatan Kuliah (Kami): 2


2.
When life is full of chemistry


Skan's Side
Hari itu, aku meminta Piyo mencarikan wanita untukku. Dia yang duduk di sebelah kananku hanya mengangguk-angguk sekilas, seakan-akan berucap, "Bro, kalau ada wanita cantik... pasti sudah gue ambil duluan, lah!" Yup, men. Namun tiba-tiba, Piyo mengguncangkan bahuku seraya menunjuk seseorang yang berdiri di depan kelas. Wanita. Tinggi. Berkacamata. Rambut diikat asal. Pakai kemeja putih. Pakai celana jins biru muda. Pakai sepatu boots.


"Tipe lo," ucap Piyo singkat.

"Gue nggak pernah lihat dia," kataku bertanya-tanya.

"Berarti dia jarang ikut acara di kampus juga, Skan. Sama kaya kita. Datang kalau cuma ada yang penting," jawab Piyo acuh tak acuh. Dia memang sama sepertiku. Jarang datang, tinggi, keren, incaran wanita pokoknya.

Aku memerhatikannya dengan seksama. Entahlah... dia memang lumayan. Sekilas dia memang memiliki perawakan yang sama denganku. Sedang apa, sih, dia di situ? Oh, dia lagi mencari namanya di list yang tertempel di pintu kelas. Apa dia akan sekelas denganku di kelas pra kuliah ini? Dugaanku benar. Perlahan, dengan ragu-ragu dia berjalan memasuki ruang kelas.

Dia menoleh ke arahku, entah ke aku, atau orang-orang di sekitarku, atau menatap bangku-bangku kosong yang berada di sekitarku. Perlahan, dia berjalan ke arahku dan mengempaskan dirinya di bangku kosong. Tepat di sebelah kiriku. Aku menatapnya sekilas, wajahnya terlihat merona. Entah karena apa. Letih karena cuaca panas, mungkin? Atau karena AC kelas tidak terasa? Entahlah. Dia menoleh ke kiri dan kanan sebentar, sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah buku catatan, dan mulai menggambar.

"Hai," ucap Piyo mencondongkan badannya ke arah wanita itu. Lebih tepatnya, ke arahku yang duduk di tengah-tengah di antara mereka. Wanita itu tidak bergeming dari coretan yang dia buat. Piyo mengulangi ucapannya, barulah wanita itu menoleh ke arah kami, menatap kami secara bergantian.

"Oh, gue?" Tanyanya sedikit kaget. "Hai."

"Gue baru lihat lo di sini, baru ikut, ya?" Tanya Piyo.

Dia tersenyum malu, merasa bersalah. Dapat kulihat lesung pipi di wajahnya. "Iya, ini pertama kalinya buat gue."

Ckckck, ternyata ada yang lebih parah dibanding aku dan Piyo.

"Kok baru pertama?" Tanya Piyo penasaran lagi. "Gue Piyo, btw."

Dia tersenyum malu, lagi. "Jadwal bentrok sama jadwal bimbingan belajar," jawabnya singkat. "Gue Anya."

Serius? Dia selama ini ikut bimbingan belajar di hari Sabtu?! Kasihan, pasti sangat membosankan.

"Skan, tolong tulis absen dulu," ucap Fito, temanku yang lain. Duduknya berjauhan dengan kami bertiga, makanya tidak bisa ikut ngobrol.

***

Namaku Kenzie Benzoann Iskandar Nicholas. Perpaduan nama yang aneh, bukan? Kenzie adalah nama yang diidamkan ibuku. Benzoann adalah nama yang diberikan ayah, pelesetan dari nama senyawa kimia Benzena atau Benzol, bahan yang mudah terbakar. Iskandar adalah nama pemberian eyangku. Dan Nicholas berasal dari nama tokoh Nicholas Flammel. Panggilanku lebih aneh lagi. Skan. Kata ayahku, sebenarnya nama panggilanku Kenzie. Namun aku dulu susah menyebut huruf 'z' sehingga mereka mulai memanggilku dengan nama Skan.

Lahir di Amerika, 20 tahun silam. Sejak dulu, aku banyak bepergian ke banyak negara karena tuntutan pekerjaan ayahku yang seorang ilmuwan. Sementara ibuku, dia memiliki usaha salon yang berada di Indonesia. Untung beliau sudah memiliki banyak karyawan, jadi beliau bisa ikut bepergian bersama ayah. Aku adalah anak kedua dari 6 bersaudara. Nama kami semua pasti ada pelesetan dari nama kimia, deh. Kakakku namanya, Ferrum, artinya... besi. Lalu adikku, Boroneal, pelesetan dari unsur Boron. Dua adik perempuanku yang kembar, satunya diberi nama Aurora, alias Aurum yang berarti Emas, dan satunya bernama Argentum, artinya Perak. Yang terakhir, perempuan juga, bernama Toluena, panggilannya Tolu, yang berasal dari nama bom TNT. Karena sering berpindah negara itulah, saat aku kembali ke Indonesia, aku harus mengalami masa penyesuaian akademik lagi.

Keluargaku masih hidup nomaden, alias berpindah-pindah tempat, kecuali aku dan kakakku yang menetap di Jakarta untuk berkuliah. Kedua orangtuaku memang mengarahkan kami untuk berkuliah di Indonesia, baru melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Jangan tanya aku kenapa aku tidak masuk ke teknik kimia seperti ayahku. Aku benci kimia. Pelajaran ribet. Aku lebih menyukai fisika. Apalagi yang membahas ilmu perbintangan. Namun, aku memiliki darah seni ayahku, karena aku juga suka musik. Gitar kesayanganku, kuberi nama Venus, seperti nama planet yang melambangkan dewi kecantikan. Ironisnya, aku lebih memilih jurusan ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan minatku sama sekali. Bukan masalah, sih, sebenarnya. Aku memang lebih memilih menjadi menteri keuangan daripada menjadi astronot, yang harus bertahan hidup tanpa gravitasi dan makan dari makanan kaleng. Aamiin.

***

Seminar tentang SDGs? Wah, ini adalah topik yang jarang dibahas di Indonesia. Masih banyak yang belum tahu apa SDGs itu. Enam bulan yang lalu, saat aku berlibur ke Swedia untuk mengunjungi ayah, aku sempat ikut sebagai asistennya di seminar internasional tentang SDGs. Well, aku rasa tidak ada salahnya untuk mempertajam ilmu pengetahuanku di seminar yang diadakan kampusku ini.

Hari ini aku terlihat gagah, well... aku memang selalu gagah, tapi setiap aku memakai kemeja putih berlengan panjang yang lengannya digulung hingga ke siku, aku merasa ketampananku bertambah 100 persen. Rambutku kali ini juga terlihat rapih, tidak seperti saat aku belum mandi di kelas tempo hari.

Setelah mengisi data-data yang diperlukan, aku berjalan menuju sebuah balkon, mengamati kampus baruku ini. Bukannya aku terlalu percaya diri, namun aku tahu ada yang mengamatiku dari tadi. Aku menoleh ke arah si empunya mata. Wanita yang dulu duduk di sebelahku. Dia langsung terlihat gelagapan. Namanya Anya. Kami belum berkenalan saat itu, namun aku tahu namanya saat Piyo berkenalan dengannya. Aku hanya diam saja saat itu. Dia hari ini sendiri. Apa dia belum dapat teman juga? Anya lalu berjongkok dan membenarkan tali sepatunya yang masih terikat rapih. Aku tersenyum tipis melihat keluguannya yang tidak dapat menahan ekspresi di wajahnya. Aku kira wajahnya dulu merona karena kepanasan, namun akhirnya aku sadar sekarang. Dia seperti itu karena aku, hahahaha. Bahkan hari ini, dengan kemeja putih dan rok hitamnya, gadis itu masih setia dengan sepatu boots-nya. Ada sesuatu tentang wanita ini, serius.

Karena aku sendirian, dia sendirian, tadinya aku ingin menyapanya. Setidaknya agar kami tidak seperti orang bodoh yang tidak punya teman. Kami berdua... sudah berteman, bukan? Tepat sebelum aku menghampirinya, Fito menepuk bahuku. Kami bertukar sapa, lalu dia mengajakku masuk ke dalam auditorium. Aku mengurungkan niatku untun menyapanya. Sekilas, aku melihat ke arah Anya.

***

Comments

Popular posts from this blog

Intermezzo: Naif atau Bodoh?

Andai dunia itu nggak sesulit yang kita rasakan, ya. Dunia itu nggak baik bukan karena 'dunia' itu sendiri kan? Tapi karena manusianya. Dunia menjadi kejam karena ulah mereka yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang yang mengenal saya mengatakan jika ada batas tipis antara naif dan bodoh di dalam diri saya. Terlalu lugu untuk melihat ini semua, tetapi sebenarnya bodoh karena tidak mengerti apa-apa. Saya bersyukur, karena saya dikelilingi oleh orang-orang yang melindungi saya agar tetap menjadi diri saya yang sekarang. Maksudnya, seperti bunga lotus yang tidak akan pernah kotor walaupun hidup di kolam berlumpur. Mereka, teman-teman saya, tetap menjaga saya seperti itu. Namun, ada kalanya saya harus sendiri. Pertemanan itu nggak harus selalu bersama-sama, cukup sirat hati yang menyatukan ikatan pertemanan. Nah, ketika saya sendiri itu lah saya merasa... bodoh. Maksudnya, saya sering melakukan kecerobohan. Mungkin, apa karena saya terlalu dilindungi mereka? "Dia itu adala...

Give and Take

What happens to teenager this day? What happens to Indonesian culture about polite, manner, and grace? It's so pathethic that now we rarely see it in our life. Let's take the easiest samples: 1. Menyela pembicaraan orang. 2. Make fun, laugh, yawn, stared hatefully toward the elders (it can be your lecturer or even your parent). 3. Being ignorance, arrogant. 4. This may be the simpliest sample of all... keluar / masuk ruangan tanpa ijin, main kabur,padahal sebenarnya bisa ijin dulu. etc. Some of the examples above are actually based on my observation in actual life. But then the question is: Can we live without polite, manner, and grace? Sekarang coba kalau dibalik. Kita jadi orang yang mendapatkan perlakuan yang tidak sopan. You feel uncomfortable, angry, sad, and insecure, don't you? Is that good? How can we have polite, manner, and grace? Well, I'm kind of person that believe in "Give and Take". Give and take is actually hands that help each oth...

Mom

Entah ini yang ke berapa kalinya gue nulis tentang sosok idaman gue. Sosok yang selalu ada untuk gue, disaat terpuruk ataupun disaat senang.Sosok yang menjadi contoh. Sosok yang gue llihat seperti Julie Andrews dan Audrey Hepburn. She is.. Mama. Mama itu stylist, tapi stylist orang jadul yang nggak out of trend deh. Gayanya kaya Audrey, sama Julie. Anggun. Sifatnya... tegas, dan disiplin. Beliau benci sama orang-orang yang nggak punya sopan santun, berapa pun usianya. Mama dan gue seriiiiiiiing banget berantem. Durhaka banget ya, gue jadi anaknya. Tapi ada saatnya ketika kita jadi sahabat, yang selalu kompak. Kalau menurut beliau sikap gue lagi nyebelin, beliau pasti ngomong, " De, inget kamu dulu ngomong apa ke Mama? Kamu dulu pernah ngomong, 'Ma, jangan tinggalin Ade ya... Kita harus kompak, sama-sama terus. " Kalau udah kaya gitu biasanya gue nangis dan langsung meluk dia. Gue ga inget umur berapa gue ngomong gitu, tapi kata beliau dari sebelum SD gue ngom...

Keramaian yang Bisu

Halo, semuanya! Topik yang akan saya tulis kali ini adalah tentang mental issue . Beberapa tahun terakhir ini, saya memang suka sekali mengulik tentang kesehatan jiwa seseorang, pemicu depresi, stres, dan beberapa hal lainnya yang dapat memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang. Menurut saya, masyarakat Indonesia masih lebih buta dengan kesadaran betapa penting dan krusialnya untuk mempelajari, menerima, dan mungkin bersimpati terhadap orang-orang yang menderita gangguan mental. Masyarakat Indonesia masih bersikap acuh tak acuh, cenderung hanya nyinyir terhadap orang lain, tanpa bercermin tentang dirinya sendiri. Dan tulisan ini, akan berkaitan langsung dengan kehidupan saya. Sebenarnya saya agak bingung bagaimana untuk menceritakannya . As you all know, saya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakak saya pinter banget, sementara adeknya... hanya remahan biskuit yang ditiup angin juga hilang. Ketika saya SD, saya sempat merasakan saat-saat di -bu...

Untukmu, dari Aku.

Mars - Venus Sama seperti mitologi Romawi kamu dan aku bagaikan Mars dan Venus. Kisah cinta kita diabadikan selayaknya dua dewa-dewi ini. Kamu, dewa perang disatukan dengan aku, dewi kecantikan. Utara - Selatan Sama seperti magnet, kita mempunyai dua kutub yang berbeda. Dulu, aku berharap bahwa kita mempunyai kutub yang sama. Namun perlahan aku mulai menyadari bahwa kita tidak akan pernah bersatu jika kutub kita sama, justru dua kutub yang berbeda inilah yang merekatkan kita. Erat, dan sulit untuk terpisahkan. Bonnie - Clyde Terkadang kita mampu menjelma seperti mereka, partner in crime . Memang terdengar jahat oleh orang lain tetapi dua kekuatan besar yang disatukan adalah hal paling magis yang pernah kurasakan. Aku tidak ingin kita berdua berakhir seperti mereka, tetapi aku mendambakan kesetiaan mereka. Romeo - Juliet Aku selalu bertanya-tanya apakah kita akan berakhir seperti mereka berdua? Apakah orang-orang akan menghalangi kebahagiaan kita? Apakah kita akan lebih percaya...