Skip to main content

Catatan Kuliah (Kami): 3


3
The beauty in ugly


Kikan's side
Ini adalah hari pertama kami resmi menjadi mahasiswa. Lebih tepatnya, karena kami baru saja menyelesaikan upacara penerimaan mahasiswa baru. Kalau boleh jujur, aku sangat berdebar-debar menantikan bagaimana rasanya kuliah. Memakai baju bebas, sepatu tidak harus hitam, tidak perlu upacara setiap hari Senin lagi, astaga!!! Aku senang!


Aku ternyata sekelas dengan Anya, wanita tinggi menjulang kurus bak model yang jarang kujumpai selama kelas pra kuliah. Kami hanya bertemu dua kali, kalau tidak salah. Aku melambaikan tangan pada Anya yang menoleh ke arahku dan mengisyaratkannya untuk datang menghampiriku.

"Anya, habis ini mau kemana?" Tanyaku ketika dia sudah tiba dihadapanku, seraya melepas almamater kampus yang digunakan selama upacara berlangsung. Kelas belum resmi dimulai hari ini.

"Hmmm... tidak tahu," jawab Anya yang sudah daritadi melepas almamaternya. "Bagaimana kalau kita ke mall? Atau main ke rumahku?"

Aku berpikir sejenak. "Bagaimana kita ke rumahmu saja? Boleh aku ajak Fia dan Dona?" Tanyaku menyebutkan dua orang yang sekelas dengan kami berdua. Aku, Anya, Fia, dan Dona memang menjadi teman sejak kami bertemu di kelas pra kuliah. Anya yang paling terakhir bergabung dengan kami, karena jadwalnya selalu bentrok dengan jadwal bimbingan belajar.

"Ya, boleh," jawab Anya tersenyum ramah.
Awalnya, aku kira Anya itu sombong. Tipikal wanita gaul Jakarta yang senang berfoya-foya, kongkow sana-sini, dan memandang rendah orang lain. Aku mengira dia adalah seorang model, karena badannya menjulang lebih tinggi dibanding yang lain. Wajahnya juga unik. Tipikal wanita Jakarta, deh, pokoknya. Ternyata, dugaanku salah seratus persen. Dia itu sangat lugu, sifat yang jarang kutemui di Jakarta. Dia juga supel, seperti saat pertama kami bertemu dulu. Saat itu di toilet kampus. Dia meminta tissue kepadaku. Lalu, kami bertemu seminggu kemudian di dalam kelas yang sama. Daripada di dunia model, Anya lebih senang menulis dan melukis. Sejak saat itu, saat aku mengenalnya, aku menyayanginya. Terlebih, ketika menyadari jika dia sangat pintar. Perpaduan lugu, cantik, supel, dan pintar. Paket lengkap plus spesial. Aku tidak boleh membiarkan Anya sendirian karena aku khawatir dia akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

"Kikan, Anya," sapa Fia menghampiri kami.
Sementara temanku, Fia, adalah versi pendiamnya Anya. Sifat dan perawakan mereka sangat mirip, bedanya Anya itu cenderung ekstrovert dan Fia introvert. Dia tidak akan menyapa orang terlebih dahulu jika dia tidak mengenali siapa orang itu. Fia, cenderung terlihat lebih sombong daripada Anya, mungkin karena memang dia pendiam jadi banyak yang menyalah artikannya. Rambut Fia panjang, berwarna cokelat muda, dan dia senang memakai baju bercorak bunga. Bukan cuma baju, sih. Pokoknya di setiap pakaian yang dia kenakan, entah baju, celana, sabuk, sepatu, bandana, tas, tempat pensil, atau anting sekalipun... pasti ada yang mengandung unsur bunga.

"Ikut, yuk, ke rumah gue," ajak Anya tanpa basa-basi. Mendengar itu Fia langsung setuju dan mengangguk bersemangat.
"Ajak Dona. Kemana dia, ya? Gue nggak lihat sejak upacara bubar," kataku menelisir sekitar.

Fia tanpa diminta pun langsung menelepon Dona dengan ponselnya. "Dona, di mana? Ayo, ke depan pintu selatan kampus. Gue, Anya, dan Kikan pada di sini, nih. Pada mau ke rumah Anya. Ayo, ikut," kata Fia panjang lebar di telepon. Benar deh, kalau mengenal Fia, dia tidak sediam kelihatannya.

Tak lama kemudian, Dona datang. Seirama dengan namanya, Dona itu seperti primadona. Ya, mirip dengan Anya, Dona itu sangat cantik. Tingkat kepintaran Dona juga berbalap-balapan dengan Anya. Yang membedakan, Dona itu lebih blak-blakan dibanding Anya. Dona itu kalau tertawa akan terbahak, mirip kuntilanak kalau sudah terlalu geli. Lalu, dia lebih mirip denganku. Aku dan Dona memang jauh lebih berisik dibanding yang lainnya. Bisa dikatakan, kami adalah tim perusuh. Hahahaha, serius, Anya dan Fia akan merasa bosan jika tidak ada kami.

"Haaaiiii!" Seru Dona yang heboh berlari kecil menghampiri kami semua. Rambut panjang hitam berkilaunya berlompatan mengikuti irama kakinya. "Ayo, kita berangkat!!!"

"Tapi, kita belanja camilan dulu, kan? Gue lapar upacara sejam cuma dikasih lemper sama sus," kataku seraya memegang perut.
Anya memutar bola matanya. "Please, lo tadi sudah makan soto sama gue, Kikan," ucapnya tidak percaya.

"Ih, itu berbeda! Tenaga gue sudah habis," ucapku merengek. "Ya, ya, ya? Kita beli makanan dulu?"

"Iya, ayo kita beli makanan dulu," kata Fia yang setuju dengan ideku. "Daripada Anya harus repot masak di rumah, kalau kita sudah terlanjur leha-leha di sana, juga pasti malas beli makan."

"Nah, kan ucapan Fia lebih masuk akal," kata Dona. "Daripada merengek kaya Kikan."

Anya tertawa seraya berucap, "baiklah! Ayo, kita cari makan."

***

"Main truth or dare, yuk," seru Dona yang berbaring di atas tempat tidur Anya.

Aku yang sedang membaca majalah di meja belajar Anya menoleh ke arah dia. "Bosan. Nggak seru," jawabku.

"Truth aja, nggak usah pakai dare. Biar seru," kata Anya yang sedang melukis dengan cat airnya.

"Boleh, tuh! Kan kita bisa saling kenal nantinya," jawab Fia yang sedang mengamati koleksi novel Anya yang memenuhi rak di kamarnya.

Tidak lama kemudian, kami pun duduk melingkar di atas karpet kecil di kamar Anya, dengan sebuah pulpen di tengah-tengah kami. Fia mulai memutar pulpen tersebut.

Setelah menunggu dengan perasaan yang berdebar-debar, ujung pulpen tersebut berhenti di depan Dona. Dia menutup wajahnya karena malu. Aku bertanya siapakah yang Dona sukai di kampus, Anya bertanya sudah berapa kali Dona berpacaran, dan Fia bertanya apa alasan Dona kuliah jurusan ekonomi. Lalu, Dona pun memutar pulpen untuk memulai ronde baru.

Kali ini, ujung pulpen berhenti di depan wajah Anya. Dia sempat memekik kaget sebelum menutupi wajahnya dengan bantal yang daritadi dipeluknya.

"Ada yang kamu sukai di kampus?" Tanya Dona tanpa basa-basi. Mendengar itu, wajah Anya langsung merah merona. Bahkan anak TK pun tahu jawabannya hanya dari ekspresi Anya. Dia mengangguk pelan.

"Siapa?" Timpal Fia.

"Umm... sebenarnya, aku nggak tahu, sih, hitungannya sudah suka atau hanya sebatas kagum. Ah, entahlah... aku... astaga," kata Anya berbasa-basi lalu kembali menutup wajahnya dengan bantal.

"Hmm... biar gue tebak," kataku seraya memutar otak. Berusaha mengingat-ingat setiap momen aku bersama Anya.

Dona menatap penuh selidik ke arah Anya sebelum dia berseru kencang, "gue tahu siapa!" Lalu dia terbahak sendiri dan membisikkan jawabannya ke aku dan Fia. Kami semua membelalakkan mata secara serempak.

Astaga, mengapa tidak terpikir sebelumnya?!?!?! Tidak salah lagi, pasti dia! Kuyakin, maksudnya kami yakin, seratus persen. Dia sudah jatuh cinta dengan dirinya sendiri yang berada di lawan jenisnya. Cuma ada satu orang yang mirip dengan Anya di kampus.

"Skan?! Iya, kan?!" Seru Fia yang menyuarakannya pertama kali. Kami bertiga menatap tajam ke arah Anya untuk menanti jawaban yang keluar dari mulutnya.

Wajah Anya semakin merona, kami bertiga tertawa melihat responnya. Benar, kan?! Hahahaha, aku memang melihat Anya seperti melihat Skan, dan sebaliknya.

"Coba ceritakan dari awal," pintaku dengan nada memohon. Fia dan Dona ikut-ikut memintanya untuk mulai bercerita.

"Huaaaaa..." protes Anya sambil menepuk pelan pipinya. Namun, tak lama kemudian, dia mulai bercerita.

***

Hari pertama perkuliahan adalah hari yang dinanti kami semua, para mahasiswa baru. Ketika memasuki kelas, baru ada Skan dan Piyo (kalau tidak salah namanya Piyo) yang duduk di bagian belakang. Aku sendiri memilih untuk duduk di bagian depan, menunggu teman-temanku datang.

Tak lama kemudian, datang Rere, teman ospekku dulu. Barulah satu per satu murid lainnya memasuki ruang kelas. Disusul dengan Fia dan Dona yang datang bersamaan. Lalu, murid yang terakhir datang adalah Anya. Dia menoleh sekilas ke arah Skan, sebelum buru-buru mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Aku melirik sekilas ke arah Skan yang sibuk memainkan ponselnya bersama Piyo. Sekarang mereka sudah berempat, ada Fito dan Dwi yang ikut bergabung.

***

Comments

Popular posts from this blog

The Code of a Girl

I know my birthday is in December, but I cannot wait to be 17! I think it'll be the same like being 16. Idk. By the way~ Let's start the 'pengkodean' buat Kakak, Ade, Mas, Mba, Om, Tante, Mama, dan Papa :) 1. I love red. 2. Looking for the series of The Mysterious Benedict Society, the best book I've read. 3. Totally in LOVE with Hello Kitty. It'll be more precious if it's from sanrio. 4. Demi Lovato is my muse. 5. I love Frank Sinatra, Audrey Hepburn. 6. Dog is the best animal ever. 7. Maybe charm bracelet will be cute. 8. A pair of DocMart :p 9. Ma, Mba, when will you give me a guitar? And I'll do something... mau berbagi ke mereka yang ngga mampu. Kalau ternyata pas ultah ada yang tercapai kadonya, ya alhamdulillah. Kalau engga, no I'm not maksa. Insya Allah tabungan kekumpul untuk menjalankan niat gue. Gue juga mengharapkan bantuan dari kalian untuk ngerayain ultah dg melakukan kegiatan ini. I hope... bisa potong kue bersama mereka ...

3rd July 2016: Poetic Day Kinda Thing

I'm watching you from afar, As if I'm seeing the brightest star. But, what can I do? You're too perfect to be true. You're my wish upon the falling star, Only hope that looks so bizarre. You're my song that I sing, Only happiness that you bring. You're my lullaby to my sleep, Only your love that I keep. I'll forever be blue and you'll forever be red. We can be purple, instead. Hey, you... You're my perfectly imperfect. ***

A Little Post of Feeling Blessed

Hi, I'm officially a college student now. HURRAY. I'm so busy these days. Also, my sister, Mba Andes just gave birth to a beautiful beautiful beautiful baby, Deandra Eiliya Isuhirman, I have niece again! The more I breathe, the more I look around, the more I realize that I'm so blessed. The more I keep my mind wide open, the more I know that I'm surrounded by beloved people. I'm feeling that I've grown up, I can be anything that I wanna be. I feel so relieved, happy, and cheerful. I'm becoming a whole new Nita, a whole new better person than I used to be. I'm so blessed.

Intermezzo: crumbling and tearing

The taller the tree the more wind blows, they said. Work hard until you don't need to introduce yourself, said them too. I am at the 500th step to reach those. It's still million stairs away to be climbed, though. The thing is... they expect too much on me. The perfection that they seek is haunting me. Well, nobody's perfect but they still expect me to be. It's killing me. Once I make a mistake, they will judge me and talking behind my back. And I am not strong enough to take that, almost everyday. I am still a human. I seek for chances to be better and better. The ironic thing is, I am a perfection. A symptom that is already running in my blood. I can't see the world easily. I see things in details. I see people in very tiny details. I read their mind. I smell their gesture. That's why, I am really overwhelmed by the imperfection that I have. The flaws that I don't want people to see it, yet they do. I am afraid. I am afraid of being bu...

Kembali Menoleh ke 6 Oktober 2012

Kata orang, kembali melihat kebelakang itu ngga bagus. Hanya membuat kenangan-kenangan yang pahit tiba-tiba muncul begitu saja. Tapi... khusus yang ini, gue akan kembali memutar balik waktu ke tanggal 6 Oktober 2012, yaitu hari dimana Mba Tita menikah. Di post 'Hari itu.... akhirnya datang' gue cuma menunjukkan foto Mba Tita, dan Mas Benny. But right now, kayanya oke juga kalo kita lihat-lihat beberapa foto ini. Fix rambut bercabang gara-gara disasak Is it like a snapshot before the runway? :p Lathifah and Me. Lathifah and Me II Lathifah and Me III Left - Right: Lathifah (penerima tamu), Alisya (keponakan), Me, Syifa (penerima tamu) Hate this photo. Mukanya klimaks Mama is in pray Mba Andes, yang membawakan nampan pengalungan bunga Mama dan Papa menggiring Mas Benny dan keluarga o:) Mba Tita, the bride Mba Tita cantiiiiiik banget Gedung Resepsi Tukeran apa gitu lupa namanya -_- Dari pihak Mas Benny ...