Skip to main content

Catatan Kuliah (Kami): 1


1
Stupidity Cupidity, why do I have to fall?


Anya's side.
Namaku Anya, nama lengkapku Karenina Ayu Hatta. Tidak, aku tidak memiliki hubungan darah dengan Mohammad Hatta, jika kalian bertanya. Lahir di Jakarta, anak ketujuh dari tujuh. Semua kakakku sudah menikah dan aku memiliki 12 orang keponakan. Salah satunya hanya berbeda lima tahun dariku. Orangtuaku adalah sepasang dokter, namun mereka sudah bercerai. Kini, aku hanya tinggal dengan ibuku, dan aku hanya akan menginap di rumah ayahku kalau ibu tidak mengijinkanku masuk ke rumah karena pulang telat. Well, jam malamku pukul sembilan, tapi terkadang aku telat 10 menit. Yaaa, Ibuku memang sangat disiplin. Beliau tidak akan memberi toleransi telat. Kata beliau, kalau diumpamakan sebagai seorang dokter, keselamatan pasien tergantung dari seberapa sigap dan cekatan seorang dokter untuk memberi pertolongan.


Aku adalah mahasiswi jurusan ekonomi, jurusan yang bertolak belakang dengan jurusan IPA yang kutempuh selama di SMA, namun jurusan yang sangat aku sukai... karena sesuai dengan hasil tes minat bakatku. Ya, mau bagaimana lagi? Aku tahu tidak cukup pintar untuk masuk fakultas kedokteran seperti kedua orangtuaku. Bahkan di dalam keluarga, hanya kakak sulung dan kakak keempat yang berhasil masuk kedokteran. Sisanya bergelut di bidang teknik, dan ekonomi. Karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri (aku tetap nekat mendaftarkan masuk ke fakultas kedokteran di semua list), aku pada akhirnya memilih universitas swasta. Aku sudah malas ikut ujian mandiri di setiap kampus, walaupun aku tahu probabilitasku masuk ke Universitas Brawijaya, Malang, sangat besar.

Oh, ya, sejak hari itu aku akhirnya mengenal namanya. Walaupun bukan dari mulutnya langsung, tapi dari kawannya yang memanggilnya. Skan. Itu namanya. Aku tidak tahu nama lengkapnya saat itu, belum. Yang kuingat adalah... aku selalu menggumamkan nama Skan dan selalu berusaha mengingat wajahnya yang tidak pernah lagi terlihat sejak hari itu.

Hari itu, saat melihat wajahnya yang penuh cahaya saat melihatnya pertama kali, entah mengapa kakiku sudah terpatri untuk berjalan dan duduk di meja kosong, di sebelah Skan. Padahal, ada banyak yang kosong saat itu. Sejak kapan aku berubah menjadi seperti robot?! Astaga, bikin malu, saja. Aku tahu wajahku merah padam walaupun pada kenyataannya... dia menoleh ke arahku sekilas, acuh tidak acuh, sebelum kembali menatap papan tulis. Sepertinya Allah sedang memberikan nikmat-Nya padaku hari itu. Aku dan Skan, terjebak di dalam satu kelompok kerja. Aku suka. Entah kalau dia.

***

Hari ini adalah seminar tentang SDGs di auditorium kampus, dan aku tertarik untuk datang. Siapa yang belum tahu SDGs? Ayo, mulai cari tahu dan pelajari lebih lanjut. Topik ini sangat seru untuk didiskusikan.
Setelah selesai melakukan registrasi, aku menunggu di luar auditorium. Sendirian. Aku masih belum mempunyai teman. Well, sudah sebenarnya. Tapi aku lupa meminta kontak mereka, dan aku adalah orang yang mudah melupakan wajah maupun nama. Yang terbayang saat itu, hanyalah wajah Skan. Oh, kemana dia, ya?

Seakan-akan menjawab pertanyaan hatiku, aku melihatnya berjalan sendirian menuju meja registrasi. Jalannya cepat. Terlihat gagah. Berbeda dengan dia yang pertama kujumpai. Dia mengenakan pakaian yang sama denganku, kemeja putih dan bawahan hitam. Setelah menuliskan data-data yang diperlukan, Skan berjalan menjauhi meja registrasi menuju ke balkon di seberang tempatku berdiri sekarang. Dia melewatiku begitu saja. Seakan-akan aku tidak ada. Seakan-akan aku tembok. Aneh, ketika rasanya aku seperti dihantam. Mungkin dia memang tidak melihatku, bukan? Astaga, tapi... tunggu... kami kan memang belum berkenalan. Apa dia tidak mengenaliku? Setidaknya secara resmi. Bahkan sejak hari itu, kami tidak pernah bertemu. Aku ragu kalau dia masih mengenaliku.

Merasa sedang dilihat, Skan akhirnya menatap ke arahku, tepat ke mataku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan. Memutar otak harus melakukan apa. Akhirnya aku hanya berjongkok dan berpura-pura membenarkan tali sepatu. Saat diam-diam menolehnya lagi, dia masih sendirian. Masih menatapku. Aku menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk menyapanya.

Baru saja aku akan melambaikan tangan dan memanggil namanya, seorang pria datang dan menepuk bahu Skan pelan. Mereka bertukar tepukan singkat, berbincang sebentar, sebelum akhirnya berjalan bersama menuju auditorium. Melewatiku lagi. Namun kali ini, Skan sempat melirik sekilas ke arahku sebelum kembali berjalan bersama temannya.

***

Comments

Popular posts from this blog

Welcome 20!

Now I am finally 20. Well my birthday was on last month actually, but I haven't got a time to write about my post birthday here. So... How it feels to be 20? Honestly, it is nothing. Ironically, you feel old yet you are still young. I think now I know my inner peace, how to keep myself sane and steady. It is crazy to remember that last year, when I was 19, I did so many amazing journeys. I made friends and I keep friends. And day by day I know that I already have a love that I always wanted. Surrounded by them who stay in my side, and by the new people who I adore.

Self Reflection

I haven't wrote anything. But will try to write... again. 4 tahun yang lalu, gue menuliskan tentang masa-masa menjadi maba  (mahasiswa baru) yang baru saja selesai melaksanakan PKKMB. Hari ini, beberapa teman angkatan 2015 sudah melaksanakan wisuda. Gue belum, semoga tahun depan mendapatkan giliran. Aamiin... Btw , entah mengapa pukul segini memang enak untuk menjadi sendu. Bukan sendu dalam konotasi negatif, tetapi cenderung ke arah positif. Tiba-tiba, jadi mengenang apa saja yang terjadi selama 4 tahun belakangan ini. Masa-masa di mana gue melepas seragam putih-abu, dan menggantinya dengan pakaian bebas. Malam ini menjadi sebuah renungan terhadap diri sendiri, atas apa yang telah dicapai, kesalahan, kebahagiaan, pertemanan, dan lain sebagainya. Katanya, kuliah adalah masa terakhir sebelum menghadapi dunia nyata. Katanya, semakin kita dewasa, kita cenderung menjadi realistis... mematikan cita-cita di dalam diri. Mematikan jiwa anak-anak yang ada di dalam hati. ...

Dear Momma (2.0)

And eventually I'm just a scared little lady. The super sensitive one when people talked about "family bond." I would cry easily on my Momma's lap when we had a deep conversation. She's my hero, my wonderwoman. The one who rescued me in my lowest. The one who protected me whenever I needed her. So, two days ago we had a deep conversation. It was about manner. " Kamu mbok ya jangan ngomong sama Mama kaya gitu.. nanti dosa ," she said when we got started. I was standing beside her while she sat on the sofa. We were talking about the latest movie actually -not the deep conversation, yet-. "Kalo ngomong sama orang tua, apalagi sama Mama, jangan sampe Mama harus mengadah liat kamu... Tatapan mata kita sejajar aja udah salah... " I was like.. . krik. Speechless. " Justru dari dulu k epala Mama lebih rendah daripada kepala Eyangti, lho. Nanti kualat kamu kaya gitu, De... Mama dari dulu mau ingetin kamu tapi lupa terus. Tiap abis shalat, ...

:)

They are everlasting. Lol I just found this!! Miss these girls so much... Btw, i'm gonna say Happy Birthday to Nadia Rahma Safitri (foto atas, paling kiri). Semoga panjang umur, sehat selalu, makin imut, dan.... semoga sudah move on. HEHE .-. With love, Nita :D

-The Lost Moment-

Alone I walked in To the place I'd ever been Once I was a stranger But then my heart said, "I wonder..." To the place filled with bond Here I was alone There I stucked Then I whispered, "I am wonderstruck" My first glaze Making my heart blazed Wondering why I got hypnotized My first stare Making my stomach a little bizarre Asking why I was so on fire Finally I realized, It was because of you. You, the kind of person that I'd never ever ever forget. You, the kind of person that's making me wonder. You, the kind of person I'd wish never lost the moment with. The new kid fell, To the other new kid once they were