Skip to main content

The First Time


Rumah gue itu deket sama rumah dua sepupu dan rumah eyang gue, kepleset kulit pisang juga langsung nyampe. Gue punya banyak sepupu sebaya disini (bukan seumuran), mereka adalah Lathifah yang lahir tahun 1999, Putri (a.k.a Uti) yang lahir tahun 1998, Mba Fatimah yang lahir tahun 1992, Mba Icha yang lahir tahun 1989, dan Ibnu (a.k.a Inu) yang lahir tahun 1994.
Pertama-tama... gue akan bercerita waktu belajar naik sepeda untuk yang pertama kalinya. Jadi..... begini ceritanya..
Halaman rumah di Bendhil ini memang lumayan. Pohon-pohon dan bunga-bunganya juga dulu lebih penuh daripada sekarang. Dan karena halamannya kebanyakan tanah dan rumput-rumput gitu, jadi kalo naik sepeda itu kaya hal yang menantang bagi gue waktu kecil. Hmm... sebenernya gue lupa asal muasal gue dibeliin sepeda untuk gue sendiri, tapi gue inget sepeda pertama gue. Sepeda roda empat. Iya, rodanya empat dengan warna kuning, biru muda, dan hijau di kerangkanya. Sepeda gue juga berkeranjang gituuu. Gue inget banget sering naro bunga-bunga random yang gue ngga tahu namanya, atau boneka, atau makanan dan minuman yang gue taro di dalemnya.
Hahahahaha
Gue masih inget banget urutan bersepedanya gimana... Pertama-tama Mba Icha atau Mba Fatimah pasti selalu mimpin di depan. Terus diikuti Inu, gue, Uti, dan Lathifah di belakangnya. Karena rute kita cuma di halaman rumah, kita selalu ngelewatin pohon-pohon belimbing. Dan kita dulu pura-pura kalo pohon itu adalah loket karcis parkir gituuu. Ahahaha konyol banget emang. Jadi kalo lewat situ kita kaya bergilir metik daunnya di satu batang yang sama. (Emang sih merusak pohon banget, tapi.... itu kan waktu kita masih unyu semuaa, sekarang ngga gitu kok). Dan tempat pemberhentiannya di tangga rumah Eyangti. Kita biasanya parkir sepeda di situ dan istirahat sambil bercanda-canda. Kalo udah ngga cape lagi, kita sepedaan lagi.
Oiya... Ada sepeda yang bisa boncengan gituuu. Dan gue inget banget, gue-Lathifah-Uti pasti rebut-rebutan supaya bisa di bonceng pertama. Kalo ada yang diboncengin, yang ambil karcisnya bukan orang yang nyetir. AHHH unyu banget sihhh kitaa :3
Akhirnya masa untuk pengen bisa naik roda dua dateng... Saat itu gue kelas 2 SD. Awalnya Uti sihh yang jadi patokan awal supaya bisa main sepeda roda dua. Jadi, waktu itu Uti dengan sepeda roda empat 1001 Dalmations-nya yang warna merah-putih-hitam, tiba-tiba ngenyopot dua ban tambahannya. Hmm. Kita semua kagetlah. Dia udah bisa roda dua ternyata. Dan sejak saat itu gue kepengen bisa juga. Motto yang ditanamkan di dalam diri gue dari dulu (sampai sekarang) adalah.... “Kalo dia bisa, kenapa kamu engga? Kamu juga pasti bisa.”
Sejak saat itu gue minta diajarin sama Mba Fatimah, Inu, Mba Icha cara naik sepeda roda dua. Awalnya gue pake sepeda warna jingga mencolok, ditambah paduan hijau yang juga mencolok. Sebenernya gue paling ngga suka pake sepeda itu karena ngga enak, tapi... Cuma sepeda itu yang sesuai untuk tinggi gue kala itu... :”)
Awalnya gue genjot sepeda kaya biasa, tapi ada orang yang megangin di depan dan di belakang gue. Pelajaran pertama, gagal. Kedua, gagal. Dan entah yang keberapa kalinya gue masih belom bisa. Di percobaan yang keberapa gituu... Mba Icha dan Mba Fatimah udah yakin kalo gue udah bisa. Mereka nanya gini, “Kita copot pegangannya ya, De? Kamu udah bisa.”
Dan gue dari keadaaan tenang tiba-tiba langsung panik dan jerit-jerit... “Jangan-jangan!! Masih belom bisa!!....” Tapi terlambat... Mereka udah ngelepas pegangannya dari gue yang langsung ngga fokus lagi. AHH GILIRAN DIPEGANGIN AJA GAMPANG BUAT BELOK-BELOKNYA, GILIRAN SENDIRIAN RASANYA SUSAAAAH BANGET!!!
And suddenly... BRAAAKK.
Gue nabrak pohon yang kira-kira setinggi dada orang dewasa. Muka gue masuk ke dalam dedaunan. Memang sangat memalukan.. antara mau ketawa, dan nangis gara-gara lutut gue berdarah waktu itu. Sementara Mba Fatimah dan Mba Icha langsung buru-buru nolongin gue.. :”D
Pada suatu hari... akhirnya gue langsung bisa naik sepeda roda dua dengan lancarnya. Dan malem itu pula gue ngerengek-rengek supaya dua ban tambahan di sepeda gue dicopot. Papa sempet nanya, “Emang kamu udah bisa roda dua?” Dan gue dengan bangganya mengatakan kalo gue udah bisa. Gue kegirangan ngeliat Papa nyopot dua ban tambahan di sepeda gue.
Besoknya gue langsung pamer hampir ke setiap orang kalo gue udah bisa naik roda dua...

Comments

Popular posts from this blog

Give and Take

What happens to teenager this day? What happens to Indonesian culture about polite, manner, and grace? It's so pathethic that now we rarely see it in our life. Let's take the easiest samples: 1. Menyela pembicaraan orang. 2. Make fun, laugh, yawn, stared hatefully toward the elders (it can be your lecturer or even your parent). 3. Being ignorance, arrogant. 4. This may be the simpliest sample of all... keluar / masuk ruangan tanpa ijin, main kabur,padahal sebenarnya bisa ijin dulu. etc. Some of the examples above are actually based on my observation in actual life. But then the question is: Can we live without polite, manner, and grace? Sekarang coba kalau dibalik. Kita jadi orang yang mendapatkan perlakuan yang tidak sopan. You feel uncomfortable, angry, sad, and insecure, don't you? Is that good? How can we have polite, manner, and grace? Well, I'm kind of person that believe in "Give and Take". Give and take is actually hands that help each oth...

Self Reflection

I haven't wrote anything. But will try to write... again. 4 tahun yang lalu, gue menuliskan tentang masa-masa menjadi maba  (mahasiswa baru) yang baru saja selesai melaksanakan PKKMB. Hari ini, beberapa teman angkatan 2015 sudah melaksanakan wisuda. Gue belum, semoga tahun depan mendapatkan giliran. Aamiin... Btw , entah mengapa pukul segini memang enak untuk menjadi sendu. Bukan sendu dalam konotasi negatif, tetapi cenderung ke arah positif. Tiba-tiba, jadi mengenang apa saja yang terjadi selama 4 tahun belakangan ini. Masa-masa di mana gue melepas seragam putih-abu, dan menggantinya dengan pakaian bebas. Malam ini menjadi sebuah renungan terhadap diri sendiri, atas apa yang telah dicapai, kesalahan, kebahagiaan, pertemanan, dan lain sebagainya. Katanya, kuliah adalah masa terakhir sebelum menghadapi dunia nyata. Katanya, semakin kita dewasa, kita cenderung menjadi realistis... mematikan cita-cita di dalam diri. Mematikan jiwa anak-anak yang ada di dalam hati. ...

Two Worlds Collide

So I was listening to this song last night. Pretty old, it was from Demi Lovato's first album, Don't Forget. The lyrics really got me... Well probably, now I'm on Demi's phase back then when she was really insecure with her self... *** "Two Worlds Collide" She was given the world So much that she couldn't see And she needed someone to show her, Who she could be. And she tried to survive Wearing her heart on her sleeve But I needed you to believe You had your dreams, I had mine. You had your fears, I was fine. You showed me what I couldn't find, When two different worlds collide. La dee da dee da She was scared of it all, watching from far away. She was given a role, never knew just when to play. And she tried to survive Living her life on her own Always afraid of the throne But you've given me strength to find home. You had your dreams, I had mine. You had your fears, I was fine. You showed me what I couldn't find, When...

GIVE. and. TAKE.

GIVE and TAKE. Kata-kata yang terus saya ingat sejak kecil. Yup. Mama memang sering banget mengatakan ini. Saya memang sempat bingung dengan makna kata ini. Tapi, seiring berjalannya waktu, seiring dengan saya yang tumbuh dan berkembang... I think I get it. Menurut saya... Makna Give and Take adalah... Kita diciptakan sebagai manusia itu tidak sempurna. Setiap individu pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Dan kita itu adalah makhluk sosial, selalu ingin bergaul dan bermasyarakat, zoon politicon kata Aristoteles. Manusia itu diciptakan untuk saling melengkapi kekurangannya. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara kita semua saling melengkapi kekurangan masing-masing? Jawabannya adalah, GIVE. Coba deh, kita jangan selalu melihat ke atas. Coba lihat orang-orang yang mempunyai kekurangan dari kita. Baik kekurangan fisik, materi, apalah itu. Dengan begitu, kita pasti jadi lebih bersyukur sama apa yang kita punya. Karena itu pula, kita dengan tulus pasti akan m...

Sarkas

Mungkin memang saya yang terlalu baik, saya yang bodoh, saya yang terlalu naif, dan saya yang selalu berpikir optimis. Semua ucapan orang yang memperingatkan agar selalu hati-hati... Saya abaikan. Saya mau tidak mau menerima semua resiko walaupun kini saya tahu rasanya. Dunia itu kejam dan saya seharusnya tahu. Saya seharusnya mendengar setiap rambu yang ditujukan kepada saya. Rasanya? Marah. Sedih. Merasa bodoh. Semua menjadi satu. Saya kini tahu seperti apa diri anda yang sesungguhnya. Anda.... bukan hanya seorang, tapi kumpulan orang yang sejenis. Hah, ternyata, wajah kalian pun bukan hanya dua. Namun terbagi menjadi seratus. Kalian dengan eloknya berganti wajah pada setiap orang. Ternyata, mulut manis kalian tidak semanis yang selama ini saya dengar. Mulut kalian memang manis di depan saya, tapi pahit di belakang saya. Ternyata, kalian bahkan kejam antar sesama kalian. Sangat tidak manusiawi. Lalu, Apakah saya masih pantas menyebut kalian manusia? Kalian senang menyerang ora...