Skip to main content

Anak Pingitan dan Jakarta

Anak gadis harus sampai rumah sebelum matahari terbenam.

Itu ungkapan kuno yang selalu gue dengar sejak dulu. Peraturan yang terdengar sederhana namun sebenarnya susah untuk dijalankan. Apalagi kalau yang diatur adalah tipe orang aktif yang tidak bisa diam. Peraturan yang terdengar kuno, tapi masih banyak orang tua yang menerapkan aturan itu teruntuk anak-anaknya, termasuk gue.

Sebagai anak perempuan terakhir dari tiga bersaudari di dalam keluarga, bukan hal yang aneh jika mendengar pernyataan, "Pantes saja dijaga banget, orang anak bungsu." Ya, sebenarnya, bukan hanya gue yang dijaga banget, karena kedua kakak gue pun demikian. Kami semua ibaratkan putri yang setiap harinya selalu dipingit, benar-benar dijaga dan dipilihkan segala bentuk aktivitas yang sesuai dengan kemampuan diri kami. Bedanya gue dengan kedua kakak gue, gue adalah putri pingitan yang ngeyel dan sering melanggar aturan rumah, yaitu, jam malam.

Seperti yang sudah gue sebutkan, batas waktu gue berkeliaran sejak jaman dulu adalah maghrib. Bukan hanya karena faktor perempuan baik-baik nggak pulang malam-malam, menjaga nama baik keluarga, atau hal lainnya, melainkan karena faktor kesehatan gue. Well, setelah selama ini gue baru menyadari jika tubuh gue lebih sensitif dibandingkan dengan anak lain. Gue mudah sesak napas dan kelelahan.

Namun, apa karena gue pulang malam artinya gue hanya keluyuran?

Well, bukan itu jawabannya. Walaupun memang senang keluyuran dan nggak bisa diam, gue juga berusaha memanfaatkan waktu untuk mengembangkan minat dan bakat gue. Contohnya, waktu pentas seni SMA, gue bertanggung jawab untuk membuat pagelaran busana, berhadapan dengan sponsor-sponsor, yang mengharuskan gue untuk pulang malam.

Dan...
Gue semakin melanggar aturan jam malam sejak gue duduk di bangku kuliah, which is now.

Resikonya?

I'm getting my detention.

Banyak hukuman yang sudah gue jalani, seperti pemotongan uang saku dan yang paling parahnya adalah dikunci di depan pintu rumah. Ini yang paling buat gue sebal dan takut. Mengapa? Karena ketika gue pulang telat, gue mengharapkan akan bisa segera istirahat namun kenyataannya gue harus bermalam di teras rumah. Pada akhirnya? Gue tetap sakit. Bukan karena faktor dikunci, tapi juga karena faktor melawan daya tahan tubuh gue sendiri.

Kapok, sih, sebenarnya melanggar aturan rumah. But what can I say? There are so many tempting activities!

Memang aturan di rumah gue memang sangat keras dan disiplin, tapi ya itu kehidupan gue. Bukan ingin mengeluh panjang lebar, tapi karena gue bersyukur. Dengan aturan seperti ini, gue ditantang untuk mengatur waktu sebaik mungkin.

You can't please anyone, but you HAVE to please your parents.

Itu prinsip gue. Walaupun sekarang gue sudah berusaha sebaik mungkin untuk pulang tepat waktu, ya, terkadang sekali dua kali gue melanggar aturan ini. Dan mungkin karena orang tua gue bosan dengan kelakuan anaknya ini, mereka mengeluarkan ultimatum:

Kamu boleh ikut apapun asal maghrib sudah di rumah.

Dan hari ini... Semua berjalan diluar ekspektasi gue.

Sekarang, detik ini, jam 6 sore, ketika matahari akan mengucapkan selamat tinggal, gue mengutuk jalanan kota Jakarta yang penuhnya seperti semut beriring.

Deg-degan, lol.

Coba kita lihat hukuman apa yang menanti di rumah nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Pancasila, Nasionalisme, dan Eyangkung

Mungkin Eyangkung (Eyang Kakung, Kakek dalam bahasa Jawa) benci disebut-sebut sebagai pahlawan. Tapi, memang kenyataannya begitu. Tidak akan ada Indonesia tanpa Eyangkung dan para pahlawan yang lain. Eyangkung saya bernama Eyang Toegijo Kartosandjojo, beliau lahir di Solo pada 17 Agustus 1919. Eyangkung bersekolah di Neutrale H. I. S Solo dan beliau berprestasi di sekolahnya. Karena prestasi itulah beliau dibebaskan dari les persiapab masuk M. U. L. O. dan pada akhirnya beliau berhasil masuk tanpa melalui tes ujian masuk. Sebagai cucu kesekian, saya sangat bangga mempunyai sosok Eyangkung. Karena beliau, saya selalu bersumpah akan membawa nama baik keluarga. Saya nggak mau menjelekkan nama baik keluarga besar, saya nggak mau dibilang, "cucu pahlawan kok seperti itu?" (Walaupun saya ini memang tergolong bandel sih, cuma bandelnya masih sebatas wajar). Walaupun beliau wafat setahun sebelum saya lahir, banyak cerita yang sudah saya dengar maupun foto-foto beliau yang saya l...

Art (part n)

The night is becoming my enemy right now. It is collided between what I feel deep in the heart and what I think deep in the mind. I do live in world that is no fairytale exist. Pathethic. Human lives by expecting on someone else, thus they expect too high. When she / he can not be something or someone they wished to be, they get mad. You will be nagged every single hours, hearing those non stop harsh words. Are we wrong for being here? To live in this same world and to breathe the same air? Deep in the mind, I hate to live in this world. I hate to grow up. I hate to have a lot of responsibilities. I just want to be kids again. To play all day long until you run out of air, and just ignore the adults words without getting worry. But in the other side, Lately for the past 6 months, I have found a new inspiration. Of someone that I don't brave to say out loud. Of someone that easily slips to become the new art. He is the most beautiful art, a thing that easily distract me from hi...

dududu

If we were real, Would you feel any bless? Would you give us the chance? Would you stay when I ask? If we were real, Could I feel jealous of the other girl? Could I smile everytime you call? Could I ask you to feel the way I feel? Because if we were real, I would always keep you safe. I would keep you by my side. I would miss to hug you tight. I would make you smile and laugh. Because if we were real, It is like a dream come true. To have someone as strong as I am by my side. To have someone smarter than I am. To have someone braver than I am. Because if we were real, It is like having two alphas become one. United as a double power. United as a one true pairing. United as a one heart.

Sarkas

Mungkin memang saya yang terlalu baik, saya yang bodoh, saya yang terlalu naif, dan saya yang selalu berpikir optimis. Semua ucapan orang yang memperingatkan agar selalu hati-hati... Saya abaikan. Saya mau tidak mau menerima semua resiko walaupun kini saya tahu rasanya. Dunia itu kejam dan saya seharusnya tahu. Saya seharusnya mendengar setiap rambu yang ditujukan kepada saya. Rasanya? Marah. Sedih. Merasa bodoh. Semua menjadi satu. Saya kini tahu seperti apa diri anda yang sesungguhnya. Anda.... bukan hanya seorang, tapi kumpulan orang yang sejenis. Hah, ternyata, wajah kalian pun bukan hanya dua. Namun terbagi menjadi seratus. Kalian dengan eloknya berganti wajah pada setiap orang. Ternyata, mulut manis kalian tidak semanis yang selama ini saya dengar. Mulut kalian memang manis di depan saya, tapi pahit di belakang saya. Ternyata, kalian bahkan kejam antar sesama kalian. Sangat tidak manusiawi. Lalu, Apakah saya masih pantas menyebut kalian manusia? Kalian senang menyerang ora...