Halo, semuanya!
Topik yang akan saya tulis kali ini adalah tentang mental issue. Beberapa tahun terakhir ini, saya memang suka sekali mengulik tentang kesehatan jiwa seseorang, pemicu depresi, stres, dan beberapa hal lainnya yang dapat memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang.
Menurut saya, masyarakat Indonesia masih lebih buta dengan kesadaran betapa penting dan krusialnya untuk mempelajari, menerima, dan mungkin bersimpati terhadap orang-orang yang menderita gangguan mental. Masyarakat Indonesia masih bersikap acuh tak acuh, cenderung hanya nyinyir terhadap orang lain, tanpa bercermin tentang dirinya sendiri.
Dan tulisan ini, akan berkaitan langsung dengan kehidupan saya. Sebenarnya saya agak bingung bagaimana untuk menceritakannya.
As you all know, saya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakak saya pinter banget, sementara adeknya... hanya remahan biskuit yang ditiup angin juga hilang.
Ketika saya SD, saya sempat merasakan saat-saat di-bully ketika menjadi anak baru di sebuah sekolah dasar. Saya merasakan bully secara lisan dari teman-teman sekelas. Entah mengapa mereka membenci saya, kalau katanya sih... mereka iri dengan kemampuan saya berbahasa inggris. Mereka mengatai saya dengan berbagai macam hinaan dan caci maki, yang menurut saya kurang pantas untuk diucapkan anak SD. Saya berusah beradaptasi, terkadang berhasil dan terkadang gagal. Ada satu masa di mana mereka mau berteman dengan saya, namun tiba-tiba mereka kembali mem-bully saya dalam hitungan sekejap mata. Persis kaya sinetron, deh. Akhirnya, entah mengapa kami semua dapat berteman, lebih tepatnya sih saya merasa mereka mau berteman dengan saya karena saya dapat memberikan keuntungan bagi mereka seperti, memberikan contekan, dan hal-hal seperti itu.
Sebagai anak baru, saya tidak pernah merasa menjadi satu kesatuan dengan teman-teman perempuan di kelas. Justru, saya lebih banyak berteman dengan adik kelas dan teman-teman sekelas yang laki-laki. Waktu itu, saya bersumpah kepada diri saya sendiri ketika masuk ke SMP, saya akan mencari sekolah yang jauh, yang nggak akan menempatkan saya dengan teman-teman perempuan SD saya.
LEBAY LO, NIT.
Memang itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, saya pun sudah memaafkan perbuatan teman-teman saya... tapi jujur.... efeknya masih terasa bahkan hingga saya kuliah dan hampir menjadi mahasiswa tingkat akhir.
Kemudian, impian saya untuk diterima di SMP yang jauh dari teman-teman SD saya terkabul. Di SMP ini lah saya dapat menemukan apa arti sahabat yang sebenarnya. Saya dipertemukan dengan beberapa manusia aneh bin ajaib yang hubungannya masih terjaga sangat baik sampai sekarang. Mereka memunculkan sisi ceria saya, dan mereka membawa kebahagiaan bagi saya.
Tetapi di depan orang lain selain sahabat-sahabat saya, mungkin karena efek di-bully, saya adalah individu yang sangat pendiam dan pemalu. Saya nggak berani berbicara di depan umum, bahkan mesan minuman di restoran pun saya harus berbisik ke kakak saya untuk dipesankan minuman. Dulu, saya benci berhadapan dengan orang asing. Saking pendiamnya, wajah saya selalu terlihat datar alias judes alias jutek alias resting bitch face (YANG MASIH TERBAWA SAMPAI SEKARANG, LOL). Saya masih ingat bagaimana saya dulu memenangkan angket Tersombong waktu SMP, lol.
Sifat pendiam dan pemalu itu masih terus terbawa hingga saya SMA, walaupun sudah berkurang drastis. Saya menjadi lebih ramai, banyak tertawa, tetapi masih membangun tembok tinggi untuk orang lain. Bisa dikatakan, saya menjaga diri saya agar tidak disakiti dengan cara menjaga jarak dengan setiap orang, hanya berteman dan terbuka dengan beberapa orang. Di masa ini gue juga sempat bermusuhan dengan seseorang selama 3 tahun lamanya. DRAMA BANGET INI, lol, tapi sekarang kami sudah berbaikan dan kembali menjalin hubungan pertemanan.
Bisa dikatakan, kuliah adalah titik balik kehidupan saya, di mana saya benar-benar berubah drastis. Saya tidak takut lagi untuk berbicara di depan umum, saya dikelilingi sahabat-sahabat aneh bin ajaib juga. Pembawaan pendiam dan pemalu masih ada hingga sekarang, tapi itu tidak berlaku jika saya sudah di depan sahabat-sahabat saya.
Nah, kelihatannya kehidupan saya sudah baik-baik saja sekarang, kan?
Padahal, nggak seperti itu.
Karena efek di-bully waktu SD dan beberapa hal personal lainnya, saya selalu berpikir kalau hukum alam akan selalu berlaku yaitu,
yang kuat yang akan bertahan.
Karena itu, saya selalu berpikir untuk menjadi kuat, karena saya tahu rasanya diinjak ketika saya lemah. Saya tidak boleh menunjukkan sisi lemah saya terhadap siapapun dalam situasi apapun, karena mereka bisa menjadi pisau bermata dua bagi saya.
Education over everything.
Saya selalu diajarkan untuk menargetkan angka 100, sehingga saya akan berusaha maksimal, kalaupun target tidak tercapai maka angka paling jelek yang saya miliki adalah 90.
Dan selama saya hidup, saya selalu berusaha menjadi yang terbaik, di dalam aspek apapun. Saya diajarkan untuk menikmati proses, tidak perlu tergesa-gesa, asal selalu menjadi yang terbaik. Memang banyak yang tidak sesuai dengan target saya, tapi hasil yang saya peroleh pun sebenarnya sudah melampaui apa yang saya harapkan.
Selain itu, saya selalu diajarkan untuk berpikir,
kalau dia bisa, saya juga pasti bisa. Asal mau berusaha dan berdoa.
Ketika kuliah, ada saatnya ketika saya mulai tertarik dengan seseorang, namun saya sadar orang itu jauh dari gapaian tangan. Bagaikan peribahasa, orang itu selalu melihat semut di seberang lautan namun mengabaikan gajah di pelupuk mata. Saya hanyalah si punuk yang merindukan bulan. Namun, akhirnya saya menyadari...
I deserve to be happy.
At this age, love is nothing. This age is the stage of our life to become better and to find a hidden potential skill within ourself.
Jangan pernah merasa tidak dicintai, biarkan saja dia seperti itu, karena setiap manusia berhak untuk mencintai dan dicintai.
Cinta akan membawa kebaikan bagi seseorang, bukan merubahnya menjadi buruk. Cinta bukan untuk dipamerkan, tapi sebagai pemicu untuk menjadi lebih baik. Kalau kamu sudah memperbaiki diri kamu sendiri, biarkan Tuhan yang memberikan cinta kepada kamu.
Seketika, saya berubah menjadi seseorang yang benar-benar mencari segala macam potensi yang ada di dalam diri saya. Saya mencoba A, mencoba B, hingga mencoba Z, hanya untuk merubah diri saya menjadi lebih baik. Kalaupun dia bukan untuk saya, saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi saya, yang sama-sama berusaha berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya kemudian juga menydari...
The best revenge is not to blame or attack anyone.
The best revenge is when you can change to be better.
The best revenge is when you realize that you are your own enemy, and you need to beat that enemy within you.
***
Nah, setelah saya bercuap-cuap alur ngidul sana-sini, let's back to the topic.
Karena saya pernah di-bully,
Karena didikan keluarga saya yang super duper disiplin,
Karena saya menomor satukan pendidikan,
Karena saya anak bungsu bego dibandingkan kedua kakak saya,
Karena saya selalu berusaha menjadi yang terbaik,
Karena saya patah hati dan bertekad untuk memperbaiki diri,
(dan karena sebuah hal yang tidak bisa saya tuliskan di sini)
Saya terbentuk menjadi pribadi yang gampang stres, ambisius, bertekad kuat, keras kepala, tempramental, over emotional (i'm too emphatic, seriously. Denger Indonesia Raya aja nangis), galak kalau udah di batas kesabaran, selalu tegang, tidak mudah percaya pada orang lain, perfeksionis, self harming sejak SMA (ya, saya seburuk itu. Kedua kakak saya pasti membaca tulisan ini, and this is how your sister used to live, sis..), dan super detail.
Kalau anda tahu film The Devil Wears Prada, saya adalah replika dari Miranda Priestly.
Banyak yang memandang kehidupan saya itu sempurna, but nothing is perfect.
Saya pun sebenarnya merasa kewalahan dengan diri saya sendiri, karena selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan mencari kesempurnaan yang nyaris sempurna. Saya akan merasa terbebani dan terpikirkan, jika orang lain kecewa karena saya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Saya akan merasa kecewa terhadap orang lain ketika standar kinerja mereka di bawah ekspektasi saya, gemas rasanya untuk ngomong, "udah nggak usah, deh! mending gue aja, lo nggak bisa." Saya akan gregetan sendiri ketika melihat ada yang kurang dan akan memperibet sendiri dengan kedetailan saya. Saya akan merasa menjadi manusia paling bodoh dan mengecewakan orang tua ketika menyadari nilai saya turun 0.0003 (ini beneran, loh, saya hitung nilai saya sendiri satu per satu. LOL). Ketika saya stres, saya cenderung menyimpannya untuk diri saya sendiri.... hingga akhirnya meledak sendiri, entah kapan dan di mana. Ketika meledak, saya memilih untuk kabur sejenak dari hiruk pikuk kehidupan, terkadang sendiri, terkadang bersama sahabat saya. Entah hanya untuk melamun menatap langit, menatap kosong jalanan, bernyanyi kencang-kencang, berteriak, menangis sejadi-jadinya, self harming (dear pembaca, mohon jangan lakukan apa yang sudah saya lakukan, ya), bepergian naik busway nggak turun-turun, atau sekedar kabur ke perpustakaan nasional untuk baca buku (iya, cupu emang anaknya. Nenangin pikiran malah ke perpustakaan).
Ketika saya mulai mempelajari watak manusia, jenis gangguan-gangguan mental, saya mulai merasa... kalau diri saya tidak normal. Saya mulai membuka mata dan menerima kenyataan kalau saya sebenarnya tidak seperti orang kebanyakan.
Baru-baru ini saya ke dokter karena mengeluhkan beberapa hal yang terjadi pada diri saya. Saat itu, saya didiagnosis mempunyai penyakit xxx, yang dipicu oleh diri saya sendiri yang mudah stres dan selalu tegang. Beliau memberikan 2 jenis obat untuk saya. Yang pertama, obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Yang kedua, obat untuk mengatur kerja sistem saraf pusat agar lebih rileks.
Beliau mengatakan banyak hal, termasuk bagaimana tubuh saya selalu tegang seakan-akan saya sedang Ujian Sekolah, bahkan ketika saya tidur. Beliau mengatakan, hidup saya tidak usah dibawa selalu gelisah. Santai. Rileks. Ketika beliau menjelaskan semuanya pada saya, saya merasa bahagia. Rasanya, akhirnya saya mendapatkan bantuan profesional dan masih ada harapan untuk saya sembuh.
Obat untuk merileksasi sistem saraf pusat ini ternyata ampuh bagi saya. Sejak minum obat ini, saya masih mudah stres... tetapi tidak semudah sebelum saya meminum obat. Pikiran saya jadi rileks, seakan-akan tidak bisa dibawa berpikir berat, menganggap santai semua hal, dan berhasil membuat saya tidak melakukan self harming (padahal, sejak minum obat... memang banyak sekali kejadian hectic yang terjadi pada hidup saya). Dampak negatifnya, saya menjadi insomnia dan nyaris tidak bisa tidur hingga pukul 3 pagi ke atas.
***
Saya tidak malu untuk menuliskan kisah ini di sini, karena tulisan ini hanya sebatas permukaan air laut di Ancol. Masih banyak hal yang tidak saya ceritakan di tulisan ini.
Saya menulis ini untuk mengatakan kalau kehidupan seseorang itu tidak sesempurna kelihatannya.
Bagi kalian yang mengalami kejadian serupa, yang mempunyai mental issue dan self struggle, kalian harus menyadari kalau kalian tidak sendiri di sini. Nggak usah pikirin apa kata orang, they will talk about you anyway. Jangan pernah menyerah untuk sembuh! Percayalah, kalian semua itu adalah batu yang sedang diasah untuk menjadi sebuah berlian indah. Kita semua akan sembuh nanti.
Bagi kalian yang tidak mengalami kejadian-kejadian ini, yuk, mulai membuka mata bahwa apa yang kalian perbuat dan lakukan terhadap orang lain bisa menjadi penentu bagaimana orang lain itu menjalani hidupnya kelak. Secara positif atau negatif, kalian akan berpengaruh terhadap orang lain itu. Yuk, mulai sadar kalau kesehatan mental itu bisa menjadi potensi SDM bagi kemajuan Indonesia. Yuk, mulai sadar kalau kalian bisa menjadi pemicu orang lain bunuh diri atau menjadi penyanyi terkenal. Yuk, mulai sadar betapa banyak millennials alias kids jaman now yang mudah sekali merasa stres dan depresi.
Hingga saat ini,
Saya masih belajar untuk mencintai diri saya sendiri, karena pada dasarnya setiap manusia itu... perfectly imperfect.
So cheer up, be blessed, and don't forget to smile!
So cheer up, be blessed, and don't forget to smile!
Comments
Post a Comment