Langit Jakarta kian hari semakin menunjukkan kesedihannya. Matahari jarang menampakkan wujudnya dan angin berhembus lembut hingga terkadang rasanya seperti menusuk tulang. Gumpalan awan kelabu hilir mudik dengan percaya diri, tanpa mempedulikan para manusia yang mulai berlarian untuk melindungi diri. Hiruk-pikuk kota ini semakin riuh dengan rintikkan hujan yang hampir setiap sore menghujani daerah ini.
Kapan terakhir kali saya (bahkan anda) mengajak hujan bermain?
Sudah lama sepertinya...
Kita semua dulu bermain hujan sebelum menyadari kalau dunia itu penuh kepura-puraan, tertawa lebar tanpa perlu takut penilaian orang lain, berlari dengan kaus kutang tanpa perlu merasa khawatir, mencuri-curi untuk makan permen sebanyak-banyaknya, hingga menangis karena terjatuh akibat kerikil kecil.
Oh, dunia terasa indah ketika kita masih lugu. Tidak ada kebencian, tidak ada caci-maki, tidak mengenal perasaan aneh terhadap lawan jenis, yang ada hanya... Persahabatan dan kasih sayang.
Saya rindu masa-masa itu.
Lalu, tidak ada salahnya jika saya ingin mengenang itu semua, kan?
Tidak ada salahnya, kan, jika kali ini saya mengajak hujan bermain agar mampu menyamarkan air mata yang mulai menetes tanpa bisa ditahan?
Hari itu, sore itu, di bawah langit kota Jakarta yang ramai, untuk yang pertama kalinya sejak belasan tahun saya kembali berhujan-hujanan. Seperti anak kecil yang merindukan sepenggal kenangan manis. Menantang hujan tanpa rasa takut dan malah berharap hujan kan mampu membasuh seluruh jiwa dan raga hingga lenyap tak tersisa.
"Mbak, mau pakai jas hujan?" Tanya seorang pedagang yang mungkin merasa aneh dengan kelakuan seorang perempuan kuliahan berusia 18 tahun berkemeja ungu yang hanya berdiam diri di bawah tetesan air hujan.
Saya menggeleng seraya tersenyum. "Tidak, terima kasih."
Saya hanya ingin sendiri, berdiam diri seperti ini, menyamarkan semua kepedihan dan kesedihan ini dibalik hujan.
Satu menit berlalu dan tak terasa saya sudah terdiam di sana selama setengah jam. Bukannya berhenti, hujan semakin deras seolah-olah mengerti apa yang sedang saya rasakan.
"Mbak, yakin nggak mau pakai jas hujan?" Si pedagang kembali bertanya, mulai merasa khawatir dengan keadaan saya yang entah di pikirannya sudah kehilangan akal.
Saya menggeleng lagi.
Pasti si pedagang benar-benar berpikir saya sudah gila. Atau... Well, mungkin dia mengerti tentang keadaan saya.
Ah, sudahlah. Penilaian orang memang selalu beragam, kan?
Persetan dengan itu semua. Yang ingin saya lakukan saat itu hanyalah berdiam diri sendiri, membiarkan hujan membasuh air mata di dalam keheningannya.
Comments
Post a Comment