Ohana means family, and family means nobody gets left behind… or forgotten. Itu yang selalu saya ingat dari film Lilo & Stitch.
Saya rasa keluarga adalah harta karun bagi setiap orang, khususnya saya. Keluarga tidak harus berasal dari darah yang sama, karena keluarga bisa terbentuk dari ikatan yang telah terbentuk. Ketika kamu sudah mengenal keluargamu yang sesungguhnya, saya tahu pasti rasanya akan bahagia, karena saya sudah mengalaminya.
Keluarga yang saya bahas di sini adalah mama, papa, dan kedua kakak saya. Tidak ada keluarga yang sempurna, karena setiap keluarga memiliki masalahnya sendiri. Tapi bagi saya, keluarga saya adalah kesempurnaan dari ketidaksempurnaan itu sendiri. Saya beruntung dibesarkan di rumah yang sederhana ini, dengan berbagai macam peraturan yang membuat saya jenuh.
Mama sendiri adalah seorang wanita yang saya dambakan. Seperti yang sudah saya tulis di blog ini sejak beberapa tahun yang lalu, beliau adalah seseorang yang tegas, disiplin, susah ditebak, anggun, cerdas, galak, dan beberapa kata lain yang tidak cukup untuk menggambarkannya secara seutuhnya. Saya tahu jika beliau adalah orang yang sangaaaaaat baik, menjadi panutan berbagai macam orang, namun yang saya tidak ketahui adalah… bagaimana orang terpikat oleh karismanya di pertemuan pertama. Baru saja semalam, saya menyadari kalau… Mummy is the coolest person ever.
Semalam saya dan beliau belanja bulanan, dan bertemu seorang wanita. Dia mendengar percakapan kami. Saya pergi untuk istirahat sejenak di sebuau bangku, dan beliau masih bersama dengan wanita itu. Baru saja tadi pagi mama menceritakan apa yang terjadi kemarin malam.
“Ibu, ibu itu manusia apa bukan?” kata si wanita itu saat mama mulai menceritakan apa yang terjadi semalam. “Saya dengar percakapan antara Ibu dan anaknya… Pasti Ibu sayang sekali dengan anak, Ibu? Anak Ibu juga pasti sayang sekali sama Ibu…
Ibu sama anaknya, omongannya halus sekali… halus dan sopan. Saya nggak menyangka kalau jaman sekarang masih ada hal yang seperti ini,” kata mama, menirukan apa yang diucapkan si wanita.
“Dari nada ngomongnya… halus sekali. Ibu itu manusia, kan? Benar kan?”
Oh my God.
Mendengar cerita itu, entahlah apa yang saya rasakan. Lucu, senang, bangga, semuanya menjadi satu. Sebagai seorang anak umur 19 tahun, penilaian orang terhadap saya adalah kehalusan cara saya berbicara dan bagaimana saya bersikap. Bukan hal aneh ketika saya mendengar (maaf, mungkin terlihat sombong), “Kamu halus banget kalau berbicara. Sopan lagi… belajar yang bener ya, Nak. Orang tua kamu berhasil mendidik kamu jadi orang yang mengerti tata krama.” Tetapi ini pertama kalinya bagi saya melihat mama yang diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Ada perasaan bangga yang menyelimuti hati saya, bangga punya mama seperti itu!
Rasanya, ikatan batin di antara kami berdua memang begitu erat. Bukan hanya antara saya dan mama, tetapi antara mama dan kedua kakak saya, ataupun saya dan kedua kakak saya.
Oh my God.
Hmm...
Keanggunan mama memang nggak ada duanya. Beliau selalu mengingatkan saya dengan watak yang dimiliki Audrey Hepburn dan Julie Andrews. Sebelum beliau mengenakan jilbab, beliau senang memakai anting-anting mutiara, rambut dipotong pendek, memakai baju yang selalu dipadankan dengan selendang bunga, jam tangan di pergelangan kirinya, sepatu Hush Puppies kalau beliau letih berjalan, atau sepatu Kickers kalau beliau ingin bergaya. Dari penampilannya saja… beliau terlihat berbeda dari wanita lain yang saya pernah temui. Kesederhanaannya, pakaiannya, semuanya membuat beliau menjadi wanita teranggun. Bagi saya, mama memanglah versi Indonesia-nya kedua aktris Hollywood itu. Ya, beliau adalah perpaduan antara Audrey Hepburn dan Julie Andrews.
Karena beliau adalah orang yang tegas dan disiplin, terkadang saya susah untuk memahami apa yang dipikirkan beliau. Kami sering bertengkar, seringnya karena beliau menganggap saya tidak pernah belajar sementara saya sebenarnya senang belajar. Atau, karena beliau benci ketika melihat saya sudah tenggelam di antara gambar-gambar saya, sama bencinya seperti saya yang diacuhkan beliau ketika beliau sedang fokus terhadap sesuatu. Atau, ketika beliau melarang saya yang ingin bepergian karena beliau khawatir dengan kesehatan saya yang mudah kelelahan. Intinya, kami bertengkar karena masalah sepele.
Dulu, saya selalu menangis jika kami bertengkar. Saya benci pertengkaran, namun saya juga akan membela apapun yang menurut saya benar. Sebagai seorang mama, menurut saya beliau masih tetaplah manusia yang terkadang suka membuat kesalahan. Namun, ya mungkin karena posisinya adalah orang tua, maka akan susah bagi anak untuk mengingatkan jika orang tuanya berbuat salah. Saya pun begitu. Pada awalnya saya selalu balik melawan, karena memang kenyataannya beliau salah. Namun, kami bukannya berbaikan tetapi malah semakin bertengkar.
Saya selalu bingung bagaimana menghadapi beliau, karena mama adalah orang yang susah ditebak. Karena selalu bertengkar, akhirnya kakak saya pernah menasehati, “Mama itu unik.”
“Kedewasaan anak itu dilihat jika dia berhadapan dengan orang tuanya. Kalau memang kamu benar dan mama salah, coba jelaskan secara perlahan. Jika nggak berhasil, mengalah dulu. Nanti jika emosinya sudah tenang, baru jelaskan lagi. Kalau kamu mau jadi dewasa, belajarlah mencoba mengalah, lawan ego kamu sendiri,” itu kata kakak saya, sewaktu saya SMP.
Sejak saat itu saya berusaha berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Perubahan itu semakin terasa seiring saya tumbuh dan berkembang. Pertengkaran yang dulunya hampit setiap saat terjadi, kini hanya terjadi jika memang saya lagi bandel-bandelnya, hehehe. Dulu saya masih sering mengurung diri di kamar dan selimutan sesudah saya menangis di depan beliau. Kini, saya bukan melarikan diri lagi, tetapi memeluk beliau.
“Semarah apapun mama sama kamu, mama sayang sama kamu. Kalau kita marahan, atau sedih, kita harus pelukan, ya… Pelukan itu menyembuhkan segalanya,” itu pesan beliau.
Yah, tidak bisa dipungkiri juga jika beliau suka mengkritik cara memeluk saya. Karena tubuh yang tinggi menjulang, memeluk orang yang lebih pendek daripada saya memang selalu terasa canggung dan aneh. But, I am trying to do it right for her.
Saya senang mempunyai wajah yang mirip dengan beliau, saya bersyukur menjadi anak dari Ir. Woeri Anggawastuti, arsitek profesional yang telah membangun rumah di hati saya sejak saya mengenalnya.
Beliau memang bukan manusia, karena beliau adalah seorang malaikat.
(I present this to every Mother, especially my Mum)
Comments
Post a Comment