Bagaimana rasanya dicintai dan mencintai? Dalam konteks ikatan antara wanita dan pria, tentunya. Saya bertanya pada diri sendiri dan belum terjawab hingga sekarang.
Bagaimana rasanya dicintai? Pasti menyenangkan rasanya, kan? Saya pernah merasakan dicintai, dan mungkin memang masih ada yang mencintai saya dengan tulus, tetapi mengapa rasanya saya kesepian?
Apakah karena saya berharap jika orang yang saya cintai juga mencintai saya? Iya, saya mengerti bagaimana untuk mencintai tetapi saya lupa bagaimana rasanya dicintai. Tunggu, bukannya saya haus kasih sayang, bukan saya ingin dia membalas perasaan saya, sungguh... bukan begitu. Saya tidak berharap apapun darinya. Saya hanya ingin memberikan segalanya untuk dia, asal dia bahagia dan tertawa. Tidak pernah terlintas di benak saya untuk bersanding bersama dia, karena saya tahu kami berdua bagai air dan minyak.
Entah apa yang membuat saya jatuh cinta dengannya. Mungkin pada awalnya saya hanya merasakan kekaguman namun, entahlah. Saat kami berdua masih belum mengenal satu sama lain, saat pertama kali kami berjumpa, saya langsung terpikat olehnya. Seakan-akan di sekelilingnya terdapat medan magnet yang begitu kuat, yang bahkan dia sendiri tidak menyadarinya. Astaga, bahkan saya masih ingat setiap detail yang mungkin dia tidak akan mengingatnya.
Mungkin ini resikonya bagi seseorang yang selalu memerhatikan detail di sekelilingnya. Dari mulai bagaimana kondisi ruangan saat itu, di barisan mana dia berada, bagaimana teriknya hari itu, saya mengingat setiap sudutnya. Kemampuan saya dalam menganalisa sekeliling pula yang menjadi bumerang bagi saya ketika bertemu dengannya.
Mau tidak mau saya selalu ingat tentang warna baju dan celana jins yang dia kenakan, tas yang dia pakai, pulpen yang diselipkan di dalam buku, dan bagaimana cara dia duduk. Banyak kenangan di hari pertama saya dengannya yang tidak mungkin saya curahkan semua di sini.
Pertemuan selanjutnya hanya terjadi beberapa kali dan tidak rutin. Kami berdua pun belum berkenalan, namun saya sudah mengetahui namanya. Dulu, saya masih ingat bagaimana saya selalu kabur jika berhadapan dengannya. Saya masih ingat bagaimana saya selalu berusaha memalingkan wajah walau rasanya hati tidak mau. Saya masih ingat bagaimana gugupnya jika melihat dia di lorong ujung, dan buru-buru membalikkan badan untuk menghindarinya. Yang saya tahu, saya tidak berani untuk menatapnya lama-lama.
Setiap hari sejak hari pertama bertemu dengannya, saya selalu berdoa:
"Ya Tuhan, izinkanlah hamba untuk bertemu dengannya. Hamba tidak tahu mengapa, tetapi hamba hanya ingin melihatnya walau dari jauh."
Seperti keajaiban, doa saya selalu terkabul. Dulu pasti saya selalu diberi kesempatan untuk mengamatinya, walau tidak bertegur sapa.
Perlahan, saya berhasil mengatasi rasa gugup itu. Kami berdua mulai mengenal satu sama lain, walau tidak resmi berkenalan. Kami bukanlah lagi orang asing seperti dulu. Di hari sejak kami mengenal, saya selalu berdoa setiap hari. Ketika selesai melaksanakan shalat wajib maupun sesudah membaca doa tidur dan Ayat Kursi, tak lupa saya selalu menyebutkan namanya di dalam doa saya:
"Ya Tuhan, jika memang dia baik untuk saya, maka dekatkan hamba dengannya. Jika dia buruk untuk saya, jauhkan hamba darinya dan dekatkanlah dengan yang lebih baik.
Ya Tuhan, hamba yakin jika setiap manusia dilahirkan sebagai orang baik. Jika dia memang tidak baik untuk hamba, tolong carikanlah sosok yang baik untuknya. Sosok wanita yang bisa membahagiakannya dan menjadikannya jauh lebih baik daripada dia yang sekarang hamba kenal."
Hingga detik ini, saya selalu berdoa seperti itu. Saya tahu Tuhan mendengar doa saya dan memberikan yang terbaik menurut-Nya. Walaupun harus saya akui, terlalu banyak air mata dan gumaman batin tentangnya, saya percaya takdir-Nya. Walaupun saya tidak kuasa untuk menahan tangis ketika melihat dia bahagia bersama orang lain, saya ikhlas. Bagaimanapun, itu adalah doa saya untuknya.
Beribu kali mencoba, saya selalu gagal memalingkan hati darinya. Dia selalu membuat saya terjebak di siklus yang sama. Mungkin saya memang butuh waktu agar dapat menetralkan perasaan saya untuknya, ya, saya hanya butuh waktu. Entah kapan. Atau mungkin, saya memang tidak akan pernah bisa.
Saya butuh waktu untuk mengetahui apa yang sebenarnya saya ingingkan. Saya tahu saya mencintainya, tetapi saya tidak tahu apakah kami memang diciptakan untuk bersama.
Setiap detik saya selalu bersyukur karena kami bertemu, namun setiap detik saya juga selalu bertanya-tanya,
"Bagaimana kalau kami tidak pernah bertemu?"
"Apakah dia datang sebagai pelajaran hidup untuk saya?"
Bahkan hingga hari ini, setelah melewati 104.286 minggu, kami berdua belum pernah resmi berkenalan. Saya tahu namanya, dia tahu nama saya. Semuanya terjadi begitu saja.
Ya Tuhan, tolong jaga dia.
Comments
Post a Comment