Skip to main content

Anak-anak, Muda, Tua, Dewasa

Kadang, ingin rasanya tinggal di Neverland. Menjadi anak-anak bersama Peterpan, Wendy, dan The Lost Boys. Hidup tanpa beban dan tanggung jawab yang dipikul. Iya, menjadi anak-anak itu memang menyenangkan. Keluguan yang selalu menampilkan wajah ceria, tidak mengerti tentang masalah percintaan, keluarga, pekerjaan, ataupun pertemanan.

Seiring bertambahnya usia dan berkembangnya pikiran, perlahan keluguan itu mulai menghilang. Sepertinya, semuanya dimulai saat masa pubertas. Ketika anak-anak perlahan berubah menjadi dewasa yaitu, manusia sesungguhnya. Makhluk yang katanya harus hidup bersosial, tapi ternyata malah menjadi individual. Maksudnya di sini adalah, mencari berbagai macam cara untuk kepentingan pribadinya sendiri. Rela menyikut kawan dan mengubahnya menjadi lawan. Rela membunuh demi mendapatkan pengakuan, harta, ataupun jabatan. Sebaik-baiknya seseorang, dia tetaplah manusia yang melakukan dosa. Kenyataannya, toh manusia itu memang kejam. Bahkan si penulis yang sedang menulis ini, juga mengakui bahwa dirinya kejam.

Tahu darimana manusia itu kejam? Berita pemanasan global, musnahnya beberapa jenis binatang, pembunuhan, pemerkosaan, semua hal keji pasti manusia ikut andil di dalam prosesnya. Memang, bukan salah manusia seratus persen. Tapi, kekejaman yang dilakukan oleh manusia memang berdampak lebih besar, alias tidak terduga.

Menjadi anak-anak itu menyenangkan. Siapa pula anak-anak yang dapat merasakan galau karena masalah percintaan ditinggal kekasih? Hmm, mungkin untuk anak era 2005-an ke atas memang bisa merasakan galau karena diputus kekasih. Tapi bagi mereka yang kini berusia 17 tahun ke atas, mungkin dulu hanya merasakan galau karena Doraemon tidak ditayangkan di televisi, hujan yang turun di hari Minggu pagi, atau karena tidak dibelikan mainan baru.

Tubuh mungil anak-anak mempermudah orang dewasa untuk memeluk mereka. Memberikan rasa kasih sayang, rasa nyaman, rasa aman, dan hangatnya di dalam dekapan. Sekarang? Sulit untuk mendapatkan rasa yang sama seperti yang pernah dialami.

Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan. Siapa pula yang akan mengingatkan untuk tidak bermain hujan karena bisa terkena pilek? Mustahil untuk bisa menjadi acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar. Basah-basahan dan tertawa riang hanya mengenakan kaus kutang, toh siapa yang akan protes kecuali para orang tua?

Hari berlalu, musim berganti, dan tahun bertambah namun yang dirasakan kian hari adalah rasa sepi. Gelak tawa hanya menjadi topeng di publik dan senyuman hanya menjadi penghias palsu di wajah. Pandangan kosong menjadi identitas pribadi yang tidak diketahui orang lain, dan renungan menjadi santapan setiap hari.

Apa yang menyenangkan menjadi dewasa?

Comments

Popular posts from this blog

Skies, Him, Love

Memandang langit adalah kesukaan saya. Pagi, siang, atau malam, tak peduli kapan dan di mana. Saya selalu kagum dengan awan pagi hari yang tampak seperti goresan kuas, lalu langit senja dengan warna jingganya di ufuk, hingga bulan bintang yang bersinar saat malam.  Memandang langit... membuat saya selalu bersyukur, dan semakin meningkatkan kepercayaan saya terhadap Tuhan. Saya, kamu, kita semua sebagai manusia hanya berupa debu di semesta. Saya baru saja menemukan tempat persembunyian yang tentram. Tempat di mana bisa memadu kasih dengan langit, dengan semilir angin yang sejuk dan menenangkan. Sebenarnya tempat itu sudah lama saya temui, namun baru akhir-akhir ini saya lebih suka "kabur" ke sana.  Rasanya... sangat ingin membawa selimut ke sana, dan perlengkapan teleskop. Hanya untuk berkenalan dengan semua yang ada di atas langit sana. Bintang polaris, sirius, minerva, bintang timur, ingin saya kenal semuanya. Di tempat itu, saya bisa melukiskan wajahnya

Like We Used To

Waktu itu ngga sengaja baca TL Twitter dan ada yang nge-tweets "Does he watch your favorite movies? Does he hold you when you cry? Does he sing to all your music While you dance to "Purple Rain"? " Terus feeling gue merasakan kata-kata itu berasal dari sebuah lagu.... But I can't figure it out that time. Kepo makin melanda. Hmm... Baruuuu aja tadi pagi gue download semua lagu-lagunya A Rocket To The Moon , and guess what!?!?!? Lirik itu dari lagu yang judulnya Like We Used To yang dinyanyiin mereka!! HAHAHAHAHA ke kepoan gue akhirnya terbalaskan begitu saja. :'3 Here's the lyric, I can feel her breath as she's sleeping next to me Sharing pillows and cold feet She can feel my heart, fell asleep to its beat Under blankets and warm sheets If only I could be in that bed again If only it were me instead of him Does he watch your favorite movies? Does he hold you when you cry? Does he let you tell him all your favo

LDKS #3

Kali ini I'll post kegiatan-kegiatan sesudah games. Enjoy it :) Me after taking a bath :)     Atas: Tante Novi (Mamanya Rafi) ; Left - Right: Me (Nita), Asti, Gia, Emak (Bu Lusi, wali kelas X-2), Tasha ; Depan: Atika Mereka yang telah mengurusi X-2 selama LDKS This is me, with my 'twins' :p LOL, orang-orang bilang muka kita tuh miriiiip banget. Well, ditambah rambut kita yang pendeknya sama, suka susah dibedain dari belakang. Anyway, namanya Nafta. Dia dulu sempet di Spore for a while, tapi sekarang udah balik lagi ke Indonesia. Nafta itu temen ekskul PMR dan kita emang udah deket banget. Dia kelas X-5 dan gue X-2. :) Nafta itu rumahnya ternyata deket banget sama gueee :O This is Tasha and Nafta. Fyi, Nafta itu temen pertamanya Tasha di 24. And I'm her 2nd friend :p Foto-foto ini diambil persis setelah gue sama Tasha selesai mandi. We should take a lot of pics, right? :p Ini temen seperjuangan gue, Fauzan Tripermana Putra a.k.a

Rising From the Ground

Sebagian dari doa gue udah terkabul. Yep I'm feeling blessed. Tuhan memang baik sekali, ya... kerikil-kerikil yang menghalangi langkah gue kini udah berhasil hilang satu per satu. Gue udah bisa balik menjadi Nita yang petakilan, nggak tahu malu, cerewet (walaupun masih tergolong pendiam yaa). Gue udah bisa membangun kembali dinding yang sempat roboh, kali ini pondasinya dibuat lebih kuat. Seperti post gue yang tentang Teratai, perlahan gue bisa seperti itu. Gue mulai bisa menunjukkan warna yang ada, memperlihatkan sifat gue yang sebenarnya. Gue bukan lagi bunglon yang gampang berubah warnanya. Gue unik. Kalian unik. Kita semua unik. Dan gue bangga itu. Gue bangga bisa bangkit dari kesedihan. Tuhan memang baik. Dia mendekatkan gue kepada orang-orang yang jauh lebih baik daripada dulu. Orang-orang yang ternyata mempunyai prinsip, pola pikir, dan sifat yang hampir mirip dengan gue. Sekalinya nggak cocok, justru bisa saling berargumentasi. Bagaimana dengan mereka yang suka menilai