Kali ini gue akan menulis tentang persahabatan antara manusia dengan binatang. Terkadang (sering kali malah), binatang itu lebih berkemanusiaan daripada manusia itu sendiri. Keluarga gue adalah pecinta binatang. Dari jaman Eyang, Om, Tante, Mama, hingga gue... kami semua pecinta binatang. Segala jenis binatang pernah kami pelihara seperti, burung hantu, angsa, burung warna-warni (nggak tau namanya apa), kucing, monyet, hamster, dan paling sering... anjing.
Ya, gue adalah keluarga muslim yang memelihara anjing.
Tulisan ini hanya akan gue fokuskan pada pro dan kontra muslim memelihara anjing.
Bisa dikatakan, anjing adalah bagian dari kehidupan gue sejak kecil. Dulu gue punya anjing namanya Pedro, campuran chow-chow dan anjing kampung. Nggak ingat sifatnya seperti apa, tapi Mama selalu cerita kalau Pedro adalah anjing terpintar dan tersetia yang pernah kami miliki. Di salah satu ceritanya, dulu gue pernah menunggangi Pedro selayaknya dia adalah kuda.
Sejak sebelum sekolah, gue dikelilingi berbagai jenis anjing. Dulu, kami pernah punya anjing bernama Dickens dan Lady, sepasang anjing Rottweiler. Karena dibiarkan dilepas di halaman, mereka hilang. Pernah sekali tiba-tiba kembali ke rumah, tapi beberapa hari kemudian menghilang lagi. Btw, Dickens itu sama seperi Pedro tingkat kecerdasannya.
Lalu, datanglah beberapa anjing campuran kintamani yang diberi nama Chacha (sebenarnya Chacha bukan anjing gue, tapi anjing om gue). Chacha beranak di bawah mobil gue, melahirkan beberapa anak lucu yang diberi nama Panda, Nero, Chocho, Jumma, Bobo, Snowy. Beberapa dari mereka kemudian diberikan sebagai anjing penjaga. Beberapa dibiarkan tumbuh dan berkembang di halaman. Yang paling berkesan itu sebenarnya Jumma, sih. Gue yang waktu itu masih SD, masih ingat waktu dia hanya sebesar telapak tangan gue, dan tidur di atas pangkuan gue. Sejak Jumma kecil gue latih salaman, lempar-tangkap, hal-hal sederhana, deh. Pernah sekali, gue jatuh di halaman rumah karena tersandung batu, Jumma langsung datang dan menjilati kaki gue yang tersandung, menenangkan gue seakan-akan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Terus Jumma stay dan diam di situ, sampai gue kuat untuk bangun lagi. Gue masih ingat, saat itu gue langsung memeluk Jumma. Yang gue sayangkan adalah, Jumma sudah "disumbangkan" om gue tanpa sepengetahuan gue yang saat itu masih berada di sekolah. Begitu pulang ke rumah, gue dapat kabar Jumma sudah nggak di rumah lagi. Waktu itu, rasanya gue sedih banget, seperti gue kehilangan sahabat baik gue.
Beberapa saat kemudian, gue memutuskan untuk memelihara hamster putih yang gue beri nama Stuart. Dia itu lucu banget, penurut, dan jahil. Jadi, saat itu gue pulang sekolah dan lihat abang-abang depan SD jual hamster seharga 15 ribu. Awalnya gue hanya iseng main sama hamster itu, tapi begitu lihat dia lengket dan nempel banget sama gue, I decided to buy him. Gue yang waktu itu masih kelas 5 SD, langsung lari kenceng ke rumah, ambil uang, balik lagi ke SD, dan langsung pelihara Stuart. But, he passed away now. Belum setahun pelihara, he died. (Terkadang, sampai usia gue yang 20 tahun ini, Stuart masih suka datang ke mimpi gue dan ngajak main bareng di taman hijau yang luas dan indah banget).
Sudah agak move on dari Jumma dan Stuart, di halaman kami yang luas, tiba-tiba datang anjing kampung betina yang nggak ketahuan campurannya apa saja, dan diberi nama Brownie. Karena sudah ramai oleh anjing, kedatangan Brownie tidak disambut baik anjing-anjing lain. Yah, walaupun akhirnya dia beranak entah sama siapa. Yang jelas, anaknya lucu-lucu. Bulunya tebal-tebal, badannya gendut, matanya bagus, berbeda banget dibanding ibunya. Brownie melahirkan T-Bone, Olivia, Pedro, Clifford, dan satu lagi gue lupa namanya. Keluarga kami memutuskan untuk memelihara mereka semua, puppies kembar tapi tak serupa. Olivia terlahir dengan keadaan cacat, hanya mempunyai 3 kaki, mempunyai badan terkecil, lemah, hanya mampu bertahan hidup sebulan. T-Bone adalah anak anjing yang paling gue sayang. Tubuhnya bulat, besar, bulunya tebal berwarna coklat dan putih, bermata abu-abu, seperti seekor beruang kecil. Gue ingat, T-Bone kecil selalu gue gendong kemana-mana, gue pangku, gue ajarkan ini-itu seperti gue mengajarkan Jumma dulu. Tapi, di usia beberapa bulan, T-Bone menghilang. Saat itu gue masih SMP dan gue langsung mencari T-Bone ke seluruh daerah rumah gue, bahkan sampai ke depan SD untuj mencari T-Bone, tapi nggak pernah ketemu.
Karena kejadian T-Bone, gue sempat trauma untuk memelihara binatang lagi. Anjing-anjing di halaman semakin banyak, tetapi nggak gue ambil sebagai peliharaan. Ya, gue beri makan. Ya, gue ajak ngobrol. But, that's it. Gue masih merasa kehilangan T-Bone.
Lalu, saat kuliah, anjing di halaman kembali beranak. Salah satunya, miriiiiip sekali dengan T-Bone. Bedanya, matanya berwarna hazel, bukan abu-abu. Saat melihat dia, gue kembali teringat akan T-Bone, dan gue nggak bisa nggak memelihara dia. Anak anjing itu gue beri nama Sirius, nama yang diambil dari nama bintang paling terang yang mempunyai rasi seperti seekor anjing. Sirius itu pintar banget. Memang agak lebih susah melatih Sirius dibandingkan gue melatih T-Bone dulu. Sirius kecil selalu gue pangku, gue uleng-uleng, gue latih ini-itu, dan dijaga banget. Seperti ibu yang nggak mau anaknya celaka, deh.
Namun, rasanya takdir buruk kembali datang. Gue kecolongan, Sirius main entah ke mana, diberi makan apa sama orang lain, tiba-tiba badannya kurus (nggak kaya beruang lagi), nafsu makan hilang, diajak main masih mau... tapi tidak bersemangat, dan lebih banyak tidur. Gue curiga kalau Sirius keracunan makanan, tapi gue masih berusaha untuk berpikir positif. Di suatu malam, gue minta tolong teman gue untuk menanyakan ke temannya yang dokter hewan, dan akhirnya dia menyuruh gue untuk datang langsung ke dokter hewan. Gue sudah berniat, saat pulang kuliah besok harinya, gue akan bawa Sirius ke dokter hewan.
Besoknya, saat gue berangkat kuliah, Sirius masih menyapa gue dan terlihat senang. Pas pulang ke rumah, gue lihat Sirius tidur di tangga teras rumah. Tanpa berpikir negatif, gue melewati Sirius diam-diam, takut dia terbangun, dan masuk ke rumah. Beberapa saat kemudian, gue kembali ke luar dan memanggil nama Sirius berkali-kali. Biasanya, dia akan langsung datang ke gue. Saat gue tengok, Sirius masih terbaring di tangga teras. Perasaan gue mulai nggak enak, dan gue mulai mengguncang tubuhnya. Badannya... sudah kaku. Sirius sudah mati.
Di antara anjing-anjing gue yang lain, kehilangan Sirius benar-benar membuat gue merasa kosong. Gue langsung menangis. Gue merasa jahat karena tidak mampu menyelamatkan Sirius. Bahkan di akhir hidupnya, Sirius masih menjaga rumah gue, dan memilih untuk "tidur" di tangga teras rumah, seakan-akan ingin agar jasadnya ditemukan gue, dan diistirahatkan dengan layak oleh gue.
Saat itu, Nanda lagi menginap di rumah gue. Gue nggak menangis di depan dia, gue hanya berkaca-kaca. Gue langsung menelepon sepupu gue, mengabarkan kematian Sirius dengan intonasi hampir menangis, dan tadinya Sirius ingin dikuburkan jauh dari rumah gue, namun gue nggak mau Sirius jauh dari rumah. Malam-malam, jam 8an, gue menggali tanah di samping rumah gue sebagai tempat terakhir Sirius. Sampai sekarang, kuburan Sirius masih berada di tempat yang sama dengan batu di atasnya. Entah Nanda melihat gue menangis atau tidak, namun saat tengah malam... saat Nanda sudah tidur, gue menangis.
Jujur aja, kehilangan binatang peliharaan yang sudah terikat dengan kita itu adalah hal paling menyakitkan.
Gue, seorang muslim, pecinta binatang menjadikan anjing sebagai binatang favorit gue. Mengapa? dari cerita yang gue paparkan di atas, dapat terlihat jelas bagaimana seekor anjing yang terikat dengan tuannya dapat menjadi teman yang sangat setia untuk gue.
Anjing-anjing yang gue pelihara selalu menjaga rumah gue.
Mereka akan galak di hadapan orang asing, namun ramah saat sudah mengenalnya.
Mereka menunggu hingga gue pulang, seperti di film Hachiko.
Mereka gue jadikan teman curhat, entah tentang keluarga, ataupun masalah pergaulan.
Mereka gue latih untuk salaman dan hal lainnya.
Mereka gue ajak obrol ini-itu, walaupun gue tahu mereka nggak akan membalas ucapan gue dengan bahasa manusia. Mereka mengerti apa yang gue ucapkan, dan itu ditunjukkan dari gestur dan respon yang mereka berikan.
Mereka... sangat setia.
Walaupun banyak pro dan kontra bagi seorang muslim untuk pelihara anjing, gue akan terus mencintai anjing-anjing gue.
Rasanya ini sudah menjadi jalan Tuhan. Gue bermain dengan anjing, tapi gue juga bersuci sesudahnya. Alhamdulillah, anjing gue paham, mereka tidak menjilat gue (entah orang lain). Alhamdulillah, keberadaan tanah tidak sulit untuk ditemukan di rumah gue, dan tentunya memudahkan gue untuk bersuci kembali.
Kini, gue memelihara seekor anjing bernama Bruno. Dia anjing yang dibuang dan baru berusia 8 bulan. Badannya kurus dan kering, dan mempunyai trauma terhadap lingkungan sosial. Awalnya, dia hanya meringkuk dan gemetar setiap bertemu orang ataupun anjing lain. Namun, setelah 2 minggu gue rawat, Bruno sudah berkembang pesat. Dia sudah menjadi lebih berani, suara gonggongannya berat dan besar, pintar dan cepat belajar.
Kehadiran Bruno juga seakan-akan sudah menjadi jalan Tuhan untuk gue. Kata Mama, sejak ada Bruno, gue benar-benar seperti ibu yang mengkhawatirkan anaknya. Gue nggak seperti dulu, yang lebih memilih pergi ke sana-sini karena sekarang ada Bruno. Gue nggak bisa hedon, karena gue inget makanan anjing itu mahal (dan gue nggak dapat tambahan uang jajan). Gue menjadi lebih hati-hati dan disiplin.
Kalau memang benar-benar diharamkan, mengapa kehadiran Bruno justru membuat gue semakin bertanggung jawab?
Gue menulis seperti ini, karena berkali-kali gue mendengar cacian orang-orang terhadap gue ataupun keluarga gue karena memelihara anjing.
Gue menjadikan anjing sebagai hewan penjaga rumah, bukan sekedar hobi dan mengikuti gaya. Gue tidak memasukkan anjing ke dalam rumah, mereka berkeliaran lepas di halaman ataupun terkadang di teras rumah. Gue bersuci setelah bermain dengan anjing. Gue melatih anjing untuk tidak menjilat orang lain.
Banyak kasus dari pengalaman gue, anjing-anjing kami diracuni hingga mati, dan disiksa. Biar bagaimanapun, anjing itu makhluk Tuhan. Apakah kalian merasa bangga dan benar karena sudah mencemooh kami? Apakah kalian puas karena menganggap diri kalian benar? Apakah kalian tidak malu mempunyai pola pikir yang sempit?
Gue rasa, penjelasan ini sudah cukup jelas, bukan?
Anjing adalah sahabat tersetia yang gue miliki. Binatang, apapun itu, memang lebih berkeprimanusiaan dibanding manusia itu sendiri.
Dosa atau tidak, gue nggak tahu pastinya. Ini adalah urusan pribadi gue.
Dan kalaupun dosa, bukankah berdosa juga untuk mabuk? ataupun mengumbar aurat? ataupun fitnah? Gue rasa, ada banyak sekali perbuatan dosa di dunia ini.
So stop judging other's life.
It is my choice, not yours.
Comments
Post a Comment