Dari yang aku tahu, Skan sama sekali tidak tertarik dengan Anya. Nol. Nihil. Tapi... akhir-akhir ini aku sering memergoki mereka sedang berbicara berdua. Singkat, sih, tapi kali ini ada topik yang dibicarakan keduanya. Nggak melulu tentang tugas dan materi kuliah. Skan sendiri selalu menyangkal jika aku bertanya kepadanya langsung. Kalau Anya sih, nggak usah ditanya. Dia sepertinya senang-senang saja jika ternyata Skan memang mendekatinya, tapi juga tidak keberatan kalau Skan hanya menganggapnya teman. Yang kutahu pasti sih, Anya memang menyukai Skan tanpa perlu dia bercerita langsung kepadaku.
Ya, cinta itu kadang bodoh. Buat apa wanita seperti dia mencintai laki-laki seperti Skan? Bukan maksudku untuk menjelekkan Skan, tapi kurasa Anya berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Kurasa setiap orang mau untuk mencintai dan dicintai, kan? Tetapi... Anya tidak dicintai. Hanya gadis itu yang memendam rasa ke Skan, dan bodohnya... dia bertahan dengan perasaannya.
"Hei, lihat Anya?" Tanya Kikan yang berjalan menghampiriku.
"Tuh, barusan jalan bareng Skan ke kantin," jawabku seraya menunjuk ke arah mereka berlalu.
Kikan berdecak lalu geleng-geleng kepala. "Mereka berdua terus, sih. Gue kadang merasa dilupakan," protesnya lebih kepada dirinya sendiri.
"Mau tanya, dong," sahutku seraya bersandar pada salah satu loker yang berada di lorong. Kikan menatapku penasaran. "Anya... benaran suka sama Skan, kan?"
Kikan balas menatapku. Matanya masih berkilat sebal karena ditinggal. "Menurut lo?" Balasnya bertanya. "Para dosen juga sudah tahu sepertinya."
Aku tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan Kikan. Dia benar. Tanpa perlu bercerita pun semuanya sudah terlihat jelas di pancaran wajah Anya. "Kan, bener! Mengapa sih, bisa suka sama Skan? Tolong kasih tahu Anya, dia itu bisa bahagia sama yang lain. Masih muda masa terpaku sama satu laki-laki, sih. Duh, gemes deh sama itu perempuan! Matanya itu, lho, kalau lihat Skan sudah seakan-akan dia adalah pusat dunianya." kataku panjang lebar.
"Lo mau gantiin posisi Skan, ya?" Tanya Kikan blak-blakan dengan tatapan menyelidik lalu tersenyum jenaka.
"Ih, nggak!" Sahutku buru-buru. "Enak saja, gini-gini gue sudah punya pacar!"
"Nggak mungkin. Seorang Piyo punya pacar?" Tanyanya tertawa lalu menatapku dari atas sampai bawah. Celana jins sobek, kaos abu-abu yang belum disetrika, dan rambut yang sudah setengah gondrong adalah pemandangan yang dilihatnya.
"Jangan meremehkan pesona gue, dong," balasku. "Lo iri sama gue? Atau mau sama gue?"
Kali ini Kikan terbahak. "Enak saja! Gue sudah punya pacar, tahu!" Katanya sebal.
"Nggak ada foto berarti hoax," balasku lagi.
"Lah, ini!" Seru Kikan lalu menunjukkan wallpaper ponselnya. Terlihat dia dan seorang pria berpose dengan imut di depan kamera.
Aku malah terbahak. "Astaga, ternyata benar! Gue kira bohong," kataku masih dengan nada mengejek.
"Gue sudah kenal sama dia seumur hidup gue," kata Kikan dengan wajah yang sedikit tersipu. "Satu lingkungan tempat tinggal, satu TK, satu SD, satu SMP, beda SMA, beda kuliah. Tapi jarak nggak akan memisahkan."
Aku memutar bola mata. Cinta benar-benar membutakan. "Berlebihan, nggak bagus seperti itu. Belum tentu dia jodoh, kan. Lebih baik seperti gue, dibawa santai tapi serius."
"Lo serius punya pacar?" Tanya Kikan tidak percaya, aku mengangguk. "Nggak ada foto berarti hoax," balasnya.
Aku tersenyum lalu mengeluarkan ponselku. "Ini pacar gue," kataku seraya membuka profile picture dari salah satu sosial mediaku.
Kikan mengernyitkan matanya begitu melihat wajah wanita yang terpampang jelas sebelum akhirnya tertawa terbahak lalu geleng-geleng kepala. "Tau, ah! Mau ikut ke kantin nyusul mereka, nggak?" Katanya di sela-sela tawa.
Aku bingung dan menatap layar ponselku. Apa ada yang salah dengan wajah Angelina Jolie?
***
Dari kejauhan aku dapat melihat Skan dan Anya sedang duduk menyantap bakso. Masing-masing diam, fokus pada makanannya masing-masing. Well, bakso Bang Mamat memang bisa membuat gagal fokus ke hal lain, sih.
Kikan menyikutku agar aku melihat ke arah mereka berdua juga. "Ayo, ganggu mereka."
"Ayo," sahutku. "Lo dukung mereka bareng apa nggak?" Tanyaku iseng.
Kikan angkat bahu. "Yang terbaik untuk mereka berdua, sih. Kalau mereka pas bareng-bareng nggak bahagia, ya, nggak mendukung. Vice versa," jawabnya. "Kalo lo?"
Aku langsung menggelengkan kepalaku kencang-kencang. "Nggak setuju. Mereka itu nggak akan pernah bahagia kalau bareng."
"Lo tuh... sewot banget, sih," katanya seraya melirikku.
"Lho, memang benar. Gue senang memperhatikan orang, Kan. Berani bertaruh mereka itu nggak ditakdirkan bersama," kataku. Sedikit sok tahu. Menanggapinya, Kikan hanya manggut-manggut acuh tak acuh.
Kami berdua tiba di hadapan mereka. Kompak, mereka menoleh ke arah kami. Keduanya sama-sama berkeringat, wajah merah merona, menahan pedas, dan dapat terlihat kuah bakso keduanya merah pekat. Anya melambaikan tangannya singkat sebelum mempersilakan kami untuk duduk bergabung.
"Kalian ngapain, sih?" Tanya Kikan yang langsung menempatkan diri di sebelah Anya.
"Taruhan makan bakso dengan level kuah yang pedas..." jawab Skan.
".... dan nggak boleh minum sampai selesai," sela Anya.
"Terus pemenangnya?" Tanyaku, gantian.
"Traktir makan untuk dua hari ke depan," kata Anya singkat.
Aku geleng-geleng kepala melihat keduanya. Aneh, benar-benar aneh.
***
"Lo sebenarnya 'bagaimana', sih, ke Kikan?" Tanyaku di parkiran saat kami hendak pulang pada malam harinya. Aku dan Skan pulang agak larut daripada biasanya karena kami dikejar deadline tugas yang harus dikumpulkan besok pagi.
"Nggak 'bagaimana' atau 'apa', kok," jawab Skan enteng.
"Lho, apanya yang nggak 'bagaimana'? Jelas terlihat ada 'apa' gitu," kataku.
Skan angkat bahu. "Memangnya ada apa, sih?"
"Gue ingetin aja ya, bro. Jangan bersikap berlebihan kalau nggak mau Anya semakin luluh sama lo. Dia juga berhak bahagia, jadi... walaupun katanya kita, pria, termasuk bejat.... well, jangan bejat banget di depan Anya. Kasihan, nggak tega. Sepertinya dia itu lugu banget soal perasaan," kataku.
Mendengar itu, Skan hanya mengangguk.
***
Comments
Post a Comment