7
Cinderella for a Night
Skan's side
Sudah sebulan berlalu sejak Piyo menahasehatiku tentang Anya. Intinya, dia tidak tega kalau melihat Anya menderita karenaku. Tunggu, deh. Setahuku, cinta itu nggak akan pernah punya derita. Kalau dia merasa menderita, artinya dia tidak mencintaiku dengan tulus. Jadi, dia yang salah, dong? Kalau jatuh cinta tapi tidak berani untuk benar-benar 'terjatuh'?
Haha, omonganku sudah melantur. Apa yang kumengerti tentang cinta? Entahlah. Yang jelas, intinya, sejauh ini aku merasa Anya baik-baik saja. Dia tidak merasa keberatan, sedih, atau menderita. Dia juga tidak berusaha untuk memaksakan perasaanku untuknya, dia hanya menjalani hidupnya sebagai wanita normal. Setidaknya, itu yang membuatku bersyukur ketika mengenalnya. Walaupun terlihat kesulitan, dia masih berusaha untuk membedakan mana hubungan profesional yang objektif dan hubungan yang penuh 'rasa' dan subjektif.
Aku dan dia memang kini menjadi lebih dekat, tetapi sebatas teman. Entah mengapa orang-orang melihat ada sesuatu di antara kami. Entah dia yang terlihat berbeda di depanku, atau aku yang terlihat berbeda di depannya. Ah, entahlah. Hidup memang penuh spekulasi, ya?
"Skan!" panggil Anya keras, membuyarkan lamunanku. "Ada apa?"
Aku mengajak Anya untuk bertemu di depan perpustakaan kampus pada pukul delapan malam. Hari itu di kampus kami sedang berlangsung festival besar, jadi suasananya sangat ricuh dengan kerumunan orang. Aku mengajaknya bertemu di depan perpustakaan karena tempat ini adalah tempat yang kuharapkan suasananya sedikit lebih sepi dibandingkan tempat lain, namun ternyata dugaanku salah.
"Habis ini mau balik atau bagaimana?" Tanyaku setengah berteriak di antara kerumunan. Aku senang karena Anya setuju untuk menemuiku di sela acara ini, walaupun pada akhirnya harus kusogok dengan es krim, sih.
Anya menggeleng. "Dona, Fia, dan Kikan masih mau di sini sampai acara penutupan," jawabnya. "Ada apa, sih?"
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku memberikan es krim yang sudah kujanjikan untuknya. "Temani gue ke...."
***
"Rooftop?" Tanya Anya begitu kami tiba di sana. "Serius? Jam segini? Apa yang spesial dari rooftop di malam hari?"
Aku geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Anya. "Hei, yang pantas dipertanyakan itu lo, tahu. Mengapa lo mau-mau aja dibawa ke sini malam-malam sama laki-laki?" Tanyaku gemas. Ini anak benar-benar bodoh. "Pernah dengar kasus pemerkosaan atau pembunuhan nggak, sih?"
"Gue ke sini sama lo, kan," jawabnya polos.
"Memang apa yang membuat lo yakin kalau gue nggak akan berbuat macam-macam?" Tanyaku lagi.
"Ya, karena lo nggak akan mungkin seperti itu. Lo... nggak akan menyakiti gue, kan?" Kata Anya.
Entah mengapa aku malah merasa dia berhati-hati pada ucapannya, ada maksud terselubung dari kalimat akhirnya. Aku menggeleng singkat. "Tapi tetap saja, jangan mau kalau diajak naik ke rooftop malam-malam. Atau diajak jalan ke tempat sepi. Atau ke mana..."
Anya mengangguk acuh tak acuh.
"Well, kalau gue yang ajak pengecualian, sih," kataku menambahkan. Dia menatapku heran. "Karena lo percaya sama gue, didikan keluarga gue juga disiplin, dan mungkin cuma gue yang akan ngajak lo ke rooftop cuma buat ini..." kataku seraya mengeluarkan teleskop kecil yang sudah kupersiapkan sejak semalam.
"Teleskop? Buat apa?"
"Buat intip orang lagi mandi," jawabku gregetan seraya menyetel teleskop menghadap ke arah langit malam. Setelah itu pun aku mengadah menatap langit Jakarta yang malam ini terlihat cerah. Sesuai prediksi cuaca. Benar-benar cocok untuk mengamati bintang. "Lo pikir guna teleskop buat apa?"
"Oh," katanya kepada dirinya sendiri begitu sadar apa yang kumaksud. Anya mengikutiku menatap langit malam.
Aku mulai menggelar selendang yang biasa kugunakan sebagai alas untuk menikmati langit malam bersama teleskopku, mengeluarkan beberapa camilan dan minuman dari dalam tas, sebelum akhirnya duduk di atas alas. Aku menoleh ke arah Anya dan menyuruhnya duduk di sebelahku.
"Oh, iya. Ada tambahan satu alasan lagi mengapa gue itu pengecualian," kataku melanjutkan percakapan kami sebelumnya.
"Mengapa?"
"Karena gue nggak tertarik sama lo. Terlalu beda jauh sama Miranda Kerr," kataku.
Anya mencibir. "Kalau lo mirip sama Brooklyn Beckham, gue mau sama lo. Cuma..."
"... Walaupun nggak mirip juga gue udah punya tempat di hati lo," potongku.
"Astaga!" Seru Anya tertawa. "Tolong jangan terlalu percaya diri, Skan."
"Pada kenyataannya seperti itu, kan?" Balasku.
"Lebih baik lo ajarkan gue cara pakai teleskop," katanya mengalihkan topik pembicaraan. Walaupun hanya ada sinar dari senter yang kunyalakan di atas sana, aku bisa melihat wajahnya merona kemerahan.
"Semua sudah gue atur, lo tinggal arahkan saja ke langit. Bisa, sih, kalau mau diatur ulang sesuai yang diinginkan," kataku seraya menempelkan mata ke lensa teleskop. "Hei, tahu nggak? Ada yang terlihat merah."
"Apa itu?" Tanya Anya spontan.
Aku mengarahkan teleskopku ke arah pipi Anya. "Wajah lo," kataku seraya tertawa jahil. Mengembalikan topik pembicaraan yang sesungguhnya.
Anya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu mendengus. "Apa, sih?!" Katanya sebal lalu mengambil alih teleskop dari tanganku. Dia mulai mengarahkannya ke langit.
"Jadi, ini sebenarnya hadiah gue untuk menghibur lo," kataku. "Gue ingat waktu awal bertemu lo di sini, pas lo rebahan sore-sore."
Dia menoleh ke arahku seraya menyipitkan matanya. "Astaga, itu sudah lama, Skan. Sekarang gue baik-baik saja," katanya.
"Gue rasa lo belum baik-baik saja. Lo hanya mencoba untuk baik-baik saja," kataku singkat seraya menyodorkan perbekalan yang sudah dipersiapkan.
Anya tersenyum tulus. "Terima kasih untuk semuanya," katanya pelan sebelum kembali mengamati langit malam. "Gue nggak pernah lihat bintang sebelumnya. Pernah di planetarium, tapi rasanya berbeda kalau suasana lihatnya seperti sekarang ini. Lebih enak sekarang."
Aku ikut tersenyum. Well, setidaknya dia merasa terhibur. Asal tahu saja, dia adalah orang pertama di luar keluarga yang kuajak berbagi bintang di langit malam.
***
Rasanya baru sebentar kami berbincang-bincang namun ternyata jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu pun kami tidak akan sadar, jika Dona tidak menelepon Anya.
"Gue lagi sama Skan. Kalian lihat saja sampai selesai, gue tungguin, kok," katanya di telepon. "Hmmm, gue sudah nggak semangat buat jingkrak-jingkrak. Nanti telepon lagi, ya.... apa? ... oh, oke. Sampai jumpa."
Aku melahap habis sisa keripik kentang yang kubawa tadi, meneguk soda, lalu berbaring di atas alas. Sebenarnya tanpa teleskop pun, malam ini bisa dengan mudahnya menatap bintang. Memang tidak sedetail dibanding dengan menggunakan teleskop, tetapi tetap indah.
"Mengapa lo suka banget sama bintang?" Tanya Anya, ikut berbaring di sisiku. Sama-sama menatap langit.
"Siapa yang benci menatap langit malam?" Balasku bertanya. "Semesta itu selalu indah untuk dinikmati cuma, ya... menurut gue sekarang semakin sedikit orang yang bisa menikmati semesta."
"Maksudnya?" Tanya Anya lagi.
"Lihat saja orang-orang sekitar. Coba tanya satu-satu, malam ini ada bulan atau tidak? Malam ini langit cerah atau mendung? Tanyakan hal-hal sepele... jarang yang bisa menjawabnya dengan akurat," jawabku. "Mereka cenderung sibuk dengan urusan dunia mereka, sampai lupa sama kondisi sekitar. Mereka lebih memilih berjalan cepat menuju lokasi pesta dibandingkan menatap langit sebentar saja untuk bersyukur."
"Oh... jadi maksudnya secara tidak langsung itu bentuk cara lo supaya tetap bersyukur ke Tuhan, ya? Maksudnya, satu manusia itu tidak sebanding dengan alam semesta yang luas sekali, kan?" Tanya Anya.
Aku mengangguk. She got the point. "Menurut lo... arti bintang di mata lo itu apa?"
Anya tersenyum mendengar pertanyaanku. "Sebenarnya gue suka bintang, tetapi tidak menekuninya, nggak tahu nama-nama bintang, hanya sekedar suka menatap langit malam. Tapi... gue selalu menganalogikan jika setiap manusia itu adalah bintang di langit," katanya pelan. "Setiap orang punya jalannya sendiri untuk menjadi bintang dan bersinar terang. Bintang... mengajarkan kita untuk fokus memperbaiki diri sendiri tanpa perlu menjadi orang lain. Justru kalau menjadi orang lain, bintang kita nggak akan pernah bersinar. Kalaupun bersinar... tidak akan seterang dibanding yang menjadi dirinya sendiri."
"Hmmm, ada benarnya juga. Kalau gue, alasannya ditambah dengan kutipan Ir. Soekarno," kataku.
"Bermimpilah setinggi langit jika kamu terjatuh, kamu akan berbaring di antara para bintang?" Tanya Anya mengutip ucapan Ir. Soekarno.
Aku mengangguk. "Bintang mengajarkan gue untuk selalu bermimpi tinggi, usaha meraihnya, nggak perlu takut gagal."
"Mimpi, ya? Memangnya apa mimpi lo?" Tanya Anya.
Aku tertawa. "Dulu gue mau jadi astronot, tapi itu mustahil. Mimpi gue sekarang adalah bekerja di bidang musik atau... jadi menteri keuangan," jawabku mantap.
Anya langsung melirik ke arahku. "Wah, lo mau jadi menteri keuangan juga?" Tanyanya membelalakkan mata.
"Oh, jadi lo saingan gue?" Balasku. Dia tertawa. "Sebenarnya, nggak harus menteri juga sih. Minat gue lebih besar di seni musik. Oh, dan lo harus tahu rasanya menatap langit malam sambil dengar lagu klasik."
Aku mengeluarkan ponsel dan headset-ku, menyerahkannya salah satu kabelnya ke Anya untuk dipakai dan aku memakai kabel yang satunya. Aku pun menyetel salah satu lagu klasik favoritku, norcturne in B flat major op. 9.
"Bagaimana, enak, kan?" Tanyaku melirik ke arah Anya. Bukan ekspektasi yang kuharapkan, aku malah mendapatinya tertidur pulas. Dahinya menyentuh ujung bahuku. Oke.... baru saja dua menit lagu diputar dan dia sudah terlelap.
***
Comments
Post a Comment