Langit merah senja berbaur dengan polusi kendaraan yang ricuh. Macet. Macet. Macet. Apalagi suara klakson semakin meramaikan hiruk pikuk Jakarta ditambah suara bedug, terdengar nun di sana seiring dengan pamitnya matahari. Bersahut-sahutan, adzan terdengar di mana-mana, menyejukkan hati setiap para pendengarnya.
Lautan manusia dapat dijumpai di manapun, samar-samar sama seperti semut dari kejauhan. Wajah-wajah letih yang meneteskan peluh serta rasa haus terlukis jelas di setiap sudut wajah mereka. Berharap agar sesegera mungkin tiba di rumah, untuk bercengkrama dengan keluarga tercinta.
Tahun ini, tepatnya pada Juni 2016, ulang tahun Jakarta dirayakan dengan semarak Ramadhan.
Aku beruntung tinggal di Jakarta. Kota seribu macet diisi dengan para manusia dari berbagai kalangan. Tingkat kriminalitas yang tinggi (walaupun tergolong lebih rendah dibanding Malaysia, berdasarkan data tahun 2013-ish) tidak menyurutkan semangat warganya. Walaupun aku tidak tahan dengan keramaian di sini, rasanya aneh jika aku harus meninggalkan kota ini.
Jakarta.
Kota heterogen.
Kota macet.
Dan...
Kota kesayangan.
Tempat aku dilahirkan walaupun keluargaku adalah keturunan Solo. Di kota ini aku beberapa kali pindah rumah, belajar berjalan, belajar membaca, hingga sekarang aku mampu bepergian, menjelajahi, serta menyusuri seluk-beluk kota ini. Dari Utara hingga Selatan semua sudah kuraih.
Kota ini didominasi oleh pusat-pusat perbelanjaan - Apa kalian mampu menyebutkan seluruh nama-namanya? Hmm, sepertinya memang membosankan kehidupan remaja Jakarta. Hanya mall dan mall. Namun seiring dengan berkembangnya kota ini, banyak juga taman kota yang dulunya tidak terawat perlahan berubah menjadi tempat rekreasi keluarga. Sebut saja Taman Ayodya, Taman Menteng, atau Taman Suropati yang setiap akhir pekannya dipenuhi oleh pedagang kaki lima serta para keluarga yang sedang berlibur. Tempat makan dari mulai di pinggir jalan hingga kafe ternama menghiasi setiap sisi kota ini. Oh, jangan lupa gedung-gedung Kedutaan Besar, daerah perkantoran, museum-museum, serta Istana Negara yang berada di segitiga emas kota ini. Seakan-akan hiruk pikuk serta gemerlap lampu kota tak pernah memadamkan semangat para warganya.
Jika aku membicarakan tentang makanan khas kota ini, Kerak Telor adalah jawaban yang paling dikenali masyarakat, bukan? Abang-None yang mengharumkan nama Jakarta, dengan baju berwarna cemerlang yang kesannya nabrak adalah sebuah seni tersendiri bagi kami. Ondel-ondel yang tinggi besar adalah maskot dari kota ini. Walaupun aku takut, tak bisa dipungkiri jika ondel-ondel mempunyai nuansa tersendiri bagi yang melihatnya.
Hmm, apakah Jakarta adalah kota yang indah?
Ya.
Tapi tidak semuanya. Dibalik keindahannya kota ini juga mempunyai sisi gelapnya. Dibalik kemacetannya, tentunya.
Prostitusi serta pemerkosaan seakan-akan telah menjadi asupan berita kami di pagi hari, sama seperti vitamin. Kasus pembunuhan dan penculikan adalah obrolan terhangat kota ini. Pelaku-pelaku korupsi yang hilir-mudik keluar masuk penjara, seakan-akan penjara adalah hotel mereka. Bus ugal-ugalan yang menabrak kendaraan bermotor bisa dianggap hal yang lumrah di sini. Hiburan malam, pergaulan bebas, narkoba adalah hal yang kekinian, rasanya aneh jika kita mendengar ada remaja Jakarta yang asing dengan hal-hal tersebut. Atau... para preman yang siap siaga 'menjaga' setiap sudut kota ini, selalu kelaparan untuk mencari mangsanya.
Ah, andaikan selama bulan Ramadhan tahun ini kota Jakarta mampu memulai kehidupannya seperti kertas putih yang masih baru.
Bersama-sama menorehkan lembaran putih itu dengan isi yang bermanfaat, memperbaiki setiap kesalahan yang telah diperbuat sebelumnya untuk menuju Jakarta yang lebih baik.
Andaikan setiap orang mempunyai sikap kritis terhadap lingkungan sosialnya, bukan hanya gadget dan gadget. Andaikan kita semua memiliki jiwa toleransi yang tinggi antar umat beragama ataupun antar suku. Andaikan setiap orang mampu menaati peraturan baik yang tersirat ataupun yang tersurat. Andaikan warga Jakarta mampu berpikir secara modern.
Andaikan dan andaikan...
Ulang tahun Jakarta memang masih dalam hitungan hari, namun aku sudah mulai merasakan euphoria-nya.
Jakarta mengajarkanku betapa kerasnya kehidupan, mempertemukanku dengan segala jenis manusia. Dunia itu sudah kejam dan sulit, jangan memperburuk keadaan.
Comments
Post a Comment