Skip to main content

Train Talk on the Rainy Fasting Day

"Don't talk with strangers" is a familiar words that my Mom said.

But I think I'm just too naughty to obey that rule. I love talking with strangers, actually. Tapi liat-liat stranger nya kaya gimana yaa.. My Mom raised me that everyone has a kind soul right in ther deepest heart. Sesangarnya preman, dia masih punya hati nurani. My Mom said that God never creates a bad guy, yang menjadikan mereka jahat itu ya devil. And yes, though personally I think it's just too naive... I'm living my world like that.

Somehow, talking with any kind of strangers is a pleasure to me. Bisa mengenal dunia dari yang paling bawah hingga ke yang paling atas, dan dari situ gue bisa bersyukur atas jalan hidup gue. (Di dalam blog ini sering kan gue bertanya-tanya tentang diri gue sendiri, nasib gue, dan tujuan gue hidup apa. So galau content blog ini, yes).

And this time, at the first day of fasting.. 6 Juni 2016, like about 4 p.m.-ish, I talked with a nice old man on my way home by train. I didn't talk to him, he was the one who greeted me first.

It started with a shallow talk like, "Wah, saya di recommend buat pake L****o sama teman-teman saya. Pakai S*****g nggak enak buat bisnis."

And our long conversation started here. Not just about cellphone, but about life...

"Kamu rumahnya dimana?" He asked me.

"Di Bendungan Hilir, Pak."

"Naik kereta sampe mana?"

"Sudirman..."

"Lho, bukannya enakan dari Palmerah, ya?"

"Nggak, Pak. Kalo di Palmerah saya harus transit dulu di Tanah Abang (which is too crowded kalo jam segitu), walaupun emang jaraknya jadi lebih dekat ke rumah," I answered him politely. "Bapak ke arah mana?"

"Oh, saya ke Bintaro. Lebih suka naik kereta sekarang, berangkat-pulang kantor lebih fleksibel. Dulu kalau bawa mobil sendiri harus berangkatnya dari jam setengah 6 pagi."

And we talked about rute-rute kereta...

"Kamu tinggi juga, ya. Berapa tingginya? 170...?" He asked me.

"175," I said.

"Whoa, tingginya. Kamu masih kuliah, kan? Kuliah di mana?"

"Trilogi.. dulu namanya STEKPI," I answered him and we talked a lot about Trilogi. From its history to the present time...

"Kamu asal mana? Jakarta?"

"Bukan, Solo, Pak.."

*BELIAU LANGSUNG NGOMONG BAHASA JAWA. PARAH, SKAK MAT. CUMA NGERTI BEBERAPA KATA*

Beliau ketawa melihat wajah gue yang rasanya sudah terlihat sangat.... bodoh.

"Orangtua saya asal Solo, tapi saya lahir di Jakarta, Pak.. Saya hanya bisa beberapa kata bahasa Jawa saja," kata gue malu-malu. (Maybe lebih tepatnya malu-maluin. Putri Solo macam apa gue, nama eyang masih ada R. A sama R. tapi ngomong bahasa Jawa belepotan).

"Bojo saya juga gitu. Orang Jawa, lahir dan tinggal di Jakarta, nggak bjsa bahasa Jawa tapi maksa ngomong Jawa. Jadi nggak ngerti bahasa kasar sama bahasa halus kalau ngomong sama mertua bagaimana," kata beliau memaklumi.

"Kamu belum kepikiran buat nikah, kan?"

"No, absolutely no," kata gue buru-buru. "I'm still too young."

And our deep conversation started..

"Bagus. Kejar dulu mimpi-mimpi kamu. Pacaran juga silahkan saja, tapi jangan sampai merusak kamu," kata beliau berapi-api. "Kamu harus cari cowok yang lebih tinggi dari pada kamu. Terus pas pacaran jangan cuma cari senengnya aja, tapi cari pacar yang bisa kamu ajak diskusi setiap hari, belajar bareng, omongin isu-isu di sekeliling kita.. anggap aja makan bareng sama ada yang perhatian itu cuma sebagai bonus."

I... was... speechless, actually. I wanted to scream, "OMG Sir, I don't even have someone special! I don't even have a boyfriend. Please stop torturing me by telling me love life. I am lonely, I know. I have feeling for someone, yes, but I don't want to think about it. Please stop making me like I need a boyfriend."

But I was just sat there quietly, listened to him. Once I nodded my head, once I politely smile.

"Saya tahu kamu cerdas, lho, apalagi postur dan wajah kamu itu mirip sama teman saya, orang Rusia. Dia itu tidak beragama, tapi dia itu orangnya tertib dan disiplin sekali. Malu saya sebagai seorang yang beragama bisa kalah sama orang Rusia. Dan mereka juga menghormati diri mereka sendiri.

Kamu juga harus bisa menjaga kehormatan kamu. Your pride is your virginity, once it gone... you have no pride. Pertahankan satu hal itu, jangan tergoda sama pergaulan di Jakarta. Nanti kalau udah ijab kabul, baru boleh. Terus honey moon nya naik haji.. seperti saya dulu. Indah banget rasanya...

Dulu waktu saya hidup di Amerika, pergaulan di sana benar-benar parah. And wearing hijab itu bukan jaminan kamu bakal terlihat benar, lho. Di sana juga banyak yang pake celana-celana pendek *maksudnya hotpants* tapi kelakuannya justru jauh lebih baik daripada yang muslim."

I got shocked when I heard him speaking in English. Fluently.

I thougt tentang temannya dia yang Rusia, hidup di Amerika, or bla bla bla lain yang beliau beri tahu ke gue itu... a big nonsense. Penampilan itu kan selalu jadi penilaian pertama seseorang terhadap kita, bukan? Dan dari penampilan beliau... honestly, he looks like a hobo. Seriously.

But I think he can read my mind and my judgement about him, so he showed me A LOT of photos of him through his cellphone. Foto sudah mampu mengatakan ribuan kata yang tidak terucap.

Memang benar, kita nggak boleh langsung mencap seseorang dari penampilannya.

He said he has a son who's still single and is still studying for his doctor degree, he said he loves playing golfs (he showed me the photos, of course, and what shocked me more was... he was playing golf with the vice president of Indonesia. It seems both are good friends).

I've learned a lot from him this noon.

Other than the love advice, other than the self-esteem advice, he made me realize that appearance is not everything, he was the most humble stranger that I've talked to.

So, thank you, Sir.

(One thing that keep haunting me is.... what is he, actually? What does he do for a living?

Well, I guess no one could tell except his family and God....)

Comments

Popular posts from this blog

Intermezzo: Naif atau Bodoh?

Andai dunia itu nggak sesulit yang kita rasakan, ya. Dunia itu nggak baik bukan karena 'dunia' itu sendiri kan? Tapi karena manusianya. Dunia menjadi kejam karena ulah mereka yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang yang mengenal saya mengatakan jika ada batas tipis antara naif dan bodoh di dalam diri saya. Terlalu lugu untuk melihat ini semua, tetapi sebenarnya bodoh karena tidak mengerti apa-apa. Saya bersyukur, karena saya dikelilingi oleh orang-orang yang melindungi saya agar tetap menjadi diri saya yang sekarang. Maksudnya, seperti bunga lotus yang tidak akan pernah kotor walaupun hidup di kolam berlumpur. Mereka, teman-teman saya, tetap menjaga saya seperti itu. Namun, ada kalanya saya harus sendiri. Pertemanan itu nggak harus selalu bersama-sama, cukup sirat hati yang menyatukan ikatan pertemanan. Nah, ketika saya sendiri itu lah saya merasa... bodoh. Maksudnya, saya sering melakukan kecerobohan. Mungkin, apa karena saya terlalu dilindungi mereka? "Dia itu adala...

Self Reflection

I haven't wrote anything. But will try to write... again. 4 tahun yang lalu, gue menuliskan tentang masa-masa menjadi maba  (mahasiswa baru) yang baru saja selesai melaksanakan PKKMB. Hari ini, beberapa teman angkatan 2015 sudah melaksanakan wisuda. Gue belum, semoga tahun depan mendapatkan giliran. Aamiin... Btw , entah mengapa pukul segini memang enak untuk menjadi sendu. Bukan sendu dalam konotasi negatif, tetapi cenderung ke arah positif. Tiba-tiba, jadi mengenang apa saja yang terjadi selama 4 tahun belakangan ini. Masa-masa di mana gue melepas seragam putih-abu, dan menggantinya dengan pakaian bebas. Malam ini menjadi sebuah renungan terhadap diri sendiri, atas apa yang telah dicapai, kesalahan, kebahagiaan, pertemanan, dan lain sebagainya. Katanya, kuliah adalah masa terakhir sebelum menghadapi dunia nyata. Katanya, semakin kita dewasa, kita cenderung menjadi realistis... mematikan cita-cita di dalam diri. Mematikan jiwa anak-anak yang ada di dalam hati. ...

Newborn, Decade, Lifeless

I thought I'm finally free. From the relationship that makes me insecure, overthinking, emotional, overwhelmed, and drained. But I was wrong. Kun fayakun. In Islam, we were taught about it. I never expected that it would actually happened to me in such a short time. I found myself getting pregnant again back in October 2024. The fetus was already inside my body since August 2024. I felt my world ruined. Again. Deeper than before. I'm not ready for a second child. Especially in a relationship that I don't feel secure. I almost set myself free. Almost. Almost. Almost. Kun fayakun . With all the circumstances, cries, and sleepless nights, I finally gave birth to a beautiful baby named Melodie in May 2025. Do I feel happy? Yes. Do I feel blessed? Yes. Ironically, I know this is not where I belong, so he is. We basically together because of undeniable condition, where we have to raise our children together. Maybe that's why we always fight, and can't respect each other...

Life Update from a 26 yo Woman

Sudah beberapa tahun terakhir ini aku tidak bisa menulis ataupun melukis apapun. Hidupku terasa datar, tidak ada hal lagi yang membuatku merasa senang (kecuali kehadiran anakku, Hagia). Tidak ada hal lagi yang bisa menginspirasi aku. Entah sudah sebanyak apa aku membeli peralatan lukis, buku catatan lucu yang banyak, namun tetap semuanya hanya berupa lembaran kosong hingga hari ini. Sampai semalam, aku kembali mencoba membaca seluruh postingan di blog ini, dimulai dari tulisan pertamaku di tahun 2012. Ternyata, ada begitu banyak kenangan manis, sedih, marah, kecewa yang aku tuliskan di dalam sini. Aku tumbuh dan berkembang di dalam blog ini, beberapa cerita kehidupan remajaku ada di dalam sini. Sebagai orang yang mudah melupakan kenangan-kenangan yang ada, membaca tulisanku sendiri membuatku merasa.... kembali hidup. Entah berapa banyak aku jatuh cinta, sakit hati, jatuh cinta, sakit hati, jatuh cinta lagi, dengan pria yang berbeda Orang-orang di dalam hidupku tidak begitu bertambah ba...

Dear You, 2020

Halo, apa kabar? Mengapa kamu menjauh?  Saya salah apa? Apakah saya membuatmu risih? Apakah kamu membenci saya? Kamu terasa sangat jauh sekarang, tanpa aku bisa raih. Kita memang tidak saling menggenggam, namun aku tahu kita saling merasa. Ingin sekali saya bertanya berbagai hal kepadamu, termasuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Saya harap kamu baik-baik saja, hidup dengan bahagia. Apakah mungkin, kamu seperti itu karena merasa kehilangan diri saya? Apakah mungkin, kamu sebenarnya memahami diri saya yang sesungguhnya, namun merasa saya mulai berubah? Apakah mungkin, kamu merasa asing dengan diri saya yang sekarang? Jika memang demikian, saya mulai menyadari sudah betapa jauhnya saya tersesat. Saya pun merasa asing dengan diri sendiri. Rasanya saya sudah melangkah jauh, dan saya takut sudah terlalu terlambat untuk kembali. Kamu menyadari perubahan saya sejak lama, dan kamu merasa asing dengan diri saya. Saya ingin meminta maaf, jika diizinkan. Saya ingin kembali berada di hidup kamu, ji...