4
When the skies are blue, to see you once again... my love
Anya's side
Sudah dua bulan aku berkuliah. Masih terasa menyenangkan, semua terasa indah, apalagi karena ada Skan setiap hari (kami berada di kelas yang sama hampir di setiap mata kuliah, yay!!!). Duh, jangan bicarakan Skan lagi, deh! Aku pusing hampir setiap detik aku memikirkannya! Nggak bisa, ya, kalau dia pergi sejenak saja dari pikiranku? Duh, susah ya, tidak memikirkan orang yang berada di kelas yang sama hampir setiap harinya? Karena telah menjadi teman sekelas, kami memang lebih banyak berbincang, berdiskusi, berbincang, berdiskusi... yah, sebatas itu saja. Monoton memang. Akupun merasa bersyukur masih bisa bernapas di hadapannya.
Omong-omong, aku baru menyadari jika Skan itu sangat pintar. Jenius malah. Entah mengapa aku merasa iri dengan kepintaran Skan. Dibandingkan aku? Cuih, aku hanya buih di lautan. Dia sebagai lautannya, tentu. Kami sering bertukar opini tentang kasus yang diberikan di dalam kelas. Tetapi... astaga, bagaimana jalan pikirannya bisa sangat luas? Seperti pohon yang bercabang banyak... Dia makan apa, sih? Ibunya mengidam apa dulu? Apa sekeluarga pintar semua? Aku heran mengapa rambutnya tidak botak atau berantakan seperti Albert Einstein.
Sore ini, menjelang maghrib, aku berlari sendirian menuju lantai teratas kampus yaitu, rooftop. Tempat teratas ini memang sedang menjadi hits dimana-mana, untungnya kampusku juga punya. Hehe. Mengapa aku ke sini? Rasanya aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikiranku. Kemarin, saat makan malam sekeluarga besar, ayah dan ibuku bertengkar di ruang keluarga. Astaga, aku benci mendengarnya. Bagaimana dua orang yang dulu sangat saling mencintai kini bisa saling membenci? Teman-temanku tidak ada yang tahu jika kedua orangtuaku sudah bercerai, karena setiap mereka ke sana rumahku pasti dalam keadaan kosong. Ibu, kan, masih bekerja sampai malam. Untuk sesaat, aku membiarkan air mata jatuh tersapu angin secara perlahan. Rasanya, ini seperti lari dari kenyataan. Walau hanya sejenak.
Setibanya di atas, aku langsung mengempaskan diri di lantai aspal, menatap langit yang mulai berwarna jingga dan merah muda, dengan gumpalan awan-awan seperti kapas. Aku merogoh kantung celana jinsku, lalu mengeluarkan sekotak rokok dan sebuah korek api. Sebelum menyulutnya, aku membuka jam tangan di pergelangan tangan kiriku, lalu menatap sayatan yang baru kubuat semalam. Aku tersenyum tipis. Satu fakta lagi yang orang-orang tidak tahu. Bahkan keluargaku sendiri.
Aku menyulut rokok tersebut dengan pelan-pelan, berusaha menikmati asapnya, merasakan nikotin yang mulai meracuni tubuhku. Menjalar pelan, menyatu di dalan aliran darah. Aku juga benci menjadi seperti ini, karena tahu apa yang aku lakukan salah. Aku benci melihat orang-orang lemah sepertiku ini, yang nggak sanggup menjalani cobaan dunia. Tapi, sungguh, sebenarnya aku tidak mau mati. Aku masih mempunyai cita-cita yang belum terwujud. Aku mau mimpiku menjadi kenyataan, bukan omong kosong. Aku masih mau menimang keturunanku sendiri. Rokok dan sayatan hanya sebatas pelampiasan belaka, kok, selain mencurahkan keluh kesal kepada Allah di selingan setiap doaku. Satu hal yang masih bisa kusyukuri adalah, aku hanya merokok dan menyayati tangan dalam selingan waktu berbulan-bulan. Jadi, tidak setiap aku depresi aku seperti ini. Oh, ya, aku juga bersyukur karena aku tidak menggunakan narkoba.
***
"Lo mengapa?" Tanya suara berat yang kukenal.
Aku terkesiap dan langsung terduduk tegap. Menoleh ke arah datangnya suara. Lima puntung rokok sudah berada di sisi kiriku. Deg.
"Astaga! Sejak kapan lo ada di sini?!" Tanyaku menghadap Skan.
"Lebih lama daripada lo. Gue sudah di sini sejak sebelum lo datang," katanya singkat. Dia duduk bersandar di tembok, persis di samping kiri pintu. Pantas aku tidak melihatnya tadi.
Aku menutup wajah. Malu.
"Hei, tenang saja. Gue nggak akan menghakimi apapun," tambah Skan buru-buru. "Semua pasti ada alasannya. Benar, kan?"
Aku mengangguk pelan. Masih menutup wajah.
Skan lalu datang menghampiriku dan duduk di sebelahku. "Boleh minta rokoknya?" Tanyanya.
"Memangnya merokok?" Tanyaku heran.
Skan menggeleng.
"Lalu?"
"Supaya lo tidak akan merasa dihakimi."
"Memangnya pernah mencoba merokok?" Tanyaku lagi.
Dia mengangguk lalu berucap, "tapi nggak suka."
"Ya, kalau begitu, jangan," kataku menutup kotak rokok.
Dia menghela napas lalu berbaring di sebelahku. Hanya menatap langit. Lagi-lagi pandangan mata yang sendu itu. "Kalau mau cerita, gue mau dengar, kok."
Aku menatap heran Skan lalu bergumam, "gue nggak bercerita ke orang asing."
***
Comments
Post a Comment